This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 14 April 2012

MADRASAH SOLUSI CERDAS PENDIDIKAN KARAKTER


MADRASAH SOLUSI CERDAS
PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : Amin Mahfudh Said[1]

Pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya.[2] Pendidikan merupakan suatu yang integral dari kehidupan. Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara dan membentuk  latihan, jadi pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[3] 
Dewasa ini pemerintah mengalakan pendidikan yang bercirikan dengan agama, atau yang sering disebut dengan pendidikan karakter. Pada dasarnya pendidikan karakter merupakan pola pendidikan umum yang didalamnya ada muatan mata pelajaran bernuansakan agama. Yang dengan cita-cita dapat membekali anak didik dengan ilmu pengetahuan umum dan pengetahuan agama.
Dengan pengetahuan umum diharapkan anak didik mampu menghadapi kehidupan dunia, dan dengan pendidikan agama diharapkan kehidupan anak didik nantinya terarah, karena mempunyai tujuan yang pasti, yaitu bahagia dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Untuk mencapai kebahagiaan tersebut tentunya memerlukan komponen yang teramat penting yaitu kesadaran diri akan adanya pencipta dirinya dan pencipta alam semesta, yang akan berdampak pada kesadaran kepada adanya sang khalik yaitu yang disebut dengan Tuhan, dalam hal ini adalah Allah Swt. Dan kesadaran dan keyakinan akan adanya tuhan itu disebut dengan iman.
Persoalan kita ialah bagaimana kita menanamkan rasa iman, rasa cinta kepada Allah, rasa nikmat beribadah (salat, puasa, dan lain-lain),rasa hormat pada kedua orang tua, dan sebagainya.[4]
MADRASAH
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran.[5] Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.[6] Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula.[7]
Sistem madrasah ialah sekolah umum yang berciri khas Islam yaitu jenjang Ibtida’iyah-Tsanawiyah- Aliyah. Sekolah yang berciri khas Islam adalah sekolah umum yang Islami.[8] Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama[9] . Madrasah juga merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan nasional di Indonesia. Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.[10]
Di Indonesia madrasah bukanlah barang baru yang sebelumnya tidak ada, karena madrasah di Indonesia madrasah adalah sudah ada sejak jaman berdirinya lembaga pendidikan di Indonesia. Dimulai dari sistem pondok pesantren kemudian di masukan kedalam lembaga yang lebih formal yaitu madrasah. Bermula dari semangat pesantren itulah madrasah lahir, jadi., tidak menjadi barang yang aneh apabila madrasah pada prakteknya sedikit menyerupai dengan sistem dipondok pesantren walaupun dari wakru kewaktu tradisi tersebut semakin tergerus dengan tuntutan sistem pendidikan kekinian.
Dalam madrasah, tidak seperti halnya di pesantren dan surau, para siswa tidak saja diberi mata pelajaran yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan, tapi juga mata pelajaran umum seperti bahasa Inggris dan Belanda dan ilmu-ilmu umum lain yang saat itu hanya diberikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda.[11]



MADRASAH DAN TANTANGAN MASA DEPAN
Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persis dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.
Dalam perkembangannya, madrasah yang tadinya hanya dipandang sebelah mata, secara perlahan-lahan telah berhasil mendapat perhatian dari masyarakat. Apresiasi ini menjadi modal besar bagi madrasah untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa. Dalam konteks kekinian, sekarang ini banyak sekali madrasah-madrasah yang menawarkan konsep pendidikan modern. Konsep ini tidak hanya menawarkan dan memberikan pelajaran atau pendidikan agama. Akan tetapi mengadaptasi mata pelajaran umum yang diterapkan di berbagai sekolah umum. Kemajuan madrasah tidak hanya terletak pada sdm-nya saja, namun juga desain kurikulum yang lebih canggih, dan sistem manajerial yang modern. Selain itu, perkembangan kemajuan madrasah juga didukung dengan sarana infrastruktur dan fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar-mengajar di madrasah.
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama[12] .
Untuk menumbuh kembangkan Pendidikan Islam atau Ilmu pendidikan Islam perlu telaah lebih jauh lagi, mengintegrasikan pengembangan Ilmu dengan wanyu.[13] Pijakan awal berkenaan dengan pendidikan Islam adalah faktor yang secara eksplisit membedakan Ilmu Pendidikan Islam dengan ilmu-ilmu lainya ialah faktor nilai.[14]
Pendidikan yang berlandaskan ilmu-ilmu ke-Islam-an yang mampu mengsinerjikan berbagai disiplin ilmu yang menghasilkan kemajuan baik dibidang ilmu pengetahuan itu sendiri, sosial, budaya, politik dan masih banyak lagi kemajuan yang ditimbulkan. dan pendidikan yang demikian bisa didapatkan dalam lingkup madrasah.
 Ilmu pengetahuan berpijak dan terikat pada pemikiran rasional. itulah sebabnya secara populer agama bermula dari rasa tidak percaya. Akan tetapi, titik awalnya berbeda, tidaklah berarti antara Agama dan ilmu itu dalam posisi bertentangan.[15] Sedangkan Servius berpendapat, Agama sendiri mempunyai pengertian. Bahwa Religion (agama. ed) berarti ikatan atau hubungan yaitu hubungan antara manusia dengan dzat diatas manusia, yaitu Tuhan.[16]
Sejalan dengan itulah Islam memandang kegunaan dan peranan ilmu, sehingga tida membuat garis pemisah antara Agama dan ilmu. Agama adalah nilai-nilai panutan yang member pedoman pada tingkah laku manusia serta pandangan hidupnya; ilmu adalah suatu hasil yang dicapai oleh manusia berkat bekal kemampuan-kemampuanya sebagai anugerah dari Allah yang maha pencipta.[17]
Dari pijakan ini marilah kita memasuki rumusan-rumusan nilai dalam pendidikan Islam itu, sehingga memiliki keunikan diantara pendidikan yang lain (sekular).[18]
Pertama, pemahaman tentang esensi bahwa manusia adalah mahluk monodualis, mahluk jasmani dan ruhani, maka pendidikan tidak dapat hanya bersifat antroposentris, akan tetapi juga harus bersifat theosentris. Pendidikan yang hanya mendasarkan pada materi saja, tentunya dalam pandangan Al Quran adalah suatu distorsi yang nyata, pendidikan dengan demikian tidak boleh hanya memandang pada manusianya saja, akan tetapi pada sangkan paraning dumadi.
Kedua,  bahwa manusia adalah mahluk yang berkembang dengan tahapan-tahapan, maka pendidikan mestilah sejalan dengan tahapan yang dilaluinya. Dan, dalam Al Quran tidak pernah kita menemukan satu pendidikan yang berhenti pada tataran tertentu.
Ketiga,  bahwa pendidikan dalam konsep Al Quran adalah memperhatikan nilai keseimbangan, antara jasmani/fisik dan ruhani (psikis). Pendidikan harus mampu secara bersama memenuhi basic need baik fisik maupun psikis.
Keempat, nilai pendidikan Islam, terletak pada keseimbangan antara aspek pemikiran dan perasaan. Pengembangan pemikiran saja akan mengantarkan manusia pada sikap rasionalistik dan materialistik. Kemampuan dalam menyeimbangkan pemikiran dan perasaan akan mengantarkan manusia pada kemampuan untuk hidup secara selaras baik dalam hubunganya dengan Tuhanya dengan sesama manusia, maupun alam lingkunganya.
Kelima, setelah keseimbangan antara pikir dan rasa dapat ditumbuh kembangkan, maka akan terbentuk dalam diri manusia itu keseimbangan antara dimensi kehambaan dan dimensi kekhalifahan.
Keenam, teori fitrah dalam Islam, menuntut adanya keseimbangan pandangan adanya faktor penentu arah pendidikan. Meskipun manusia memiliki fitrah keberagamaan sebagai suatu potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, akan tetapi orang tuanya (lingkungan/pendidikan) lebih menentukan wujud akhir keberagamaan anak.
Pendidikan Islam dengan pokok pelajaran yang mengintegrasikan pengetahuan umum dan pengetahuan agama seperti dipaparkan diatas, semua itu terwakili dalam pendidikan dalam bentuk madrasah, baik mulai jenjang madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah Dan aliyah. Yang merupakan represntasi dari integrasi pendidikan dalam teori maupun prakteknya.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam buku filsafat pendidikan islami. Bahwa madrasah merupakan model pendidikan umum terbaik, karena dalam madrasah sistem pendidikanya mengintegrasikan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama, yang sejalan dengan pendidikan karakter yang digalakan pemerintah dewasa ini.
Dengan pengetahuan umum dan pengetahuan agama diharapkan madrasah mampu memberikan calon generasi penerus bangsa yang berkarakter islami, yang akan menjadi khalifah dimuka bumi dan memakmurkan bumi, dalam artian mampu bahagia di dunia, serta mempunyai tujuan hidup yang pasti yaitu bahwasanya mempunyai kesadaran akan adanya tuhan dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah hidup didunia sebagai pertangung jawaban dari kehidupan dari hasil yang dikerjakan didunia.
Madrasah diharapkan menjadi salah satu lembaga pendidikan yang mampu memberikan generasi bangsa yang ahli ilmu ( ilmuan ), dan ilmuan yang beragama yang kuat ( ulama ). Dengan kata lain mampu mencetak generasi bangsa yang ilmuan yang ulama dan ulama yang ilmuan Dan berahlak mulia.
Dengan banyaknya generasi bangsa yang berahlak mulia, akan menjadikan mereka pemimpin masa depan yang akan memberikan progress pada bangsa dan Negara, mengapa demikian dengan dasar agama yang kuat akan sangat mungkin menghindarkan dari praktek korupsi yang selama ini menjadi momok yang sangat membahayakan kesehatan bangsa dan Negara.
Selain itu juga madrasah sekarang ini banyak dilengkapi dengan sistem teknologi yang informasi yang akan berdampak pada madrasah yang semula mempunyai stigma sebagai lembaga yang terpingirkan akan menjadi lembaga pandidikan yang mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum lainya. Bersaing dalam artian lembaga pendidikan itu sendiri maupun lulusannya.
Wallahu a’lam bisowaf.











DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abd. Rachman, 2011. Filsafat Pendidikan Islam, paradigma baru pendidikan hadhari berbasis integratif interkonektif, Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Hasbullah, 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin, 2004. Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Noor, Deliar, 1991. Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942  Jakarta : LP3ES.
Poerwadarminta, W.J.S. 1984., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka.
Romdon, 1995. Tasawuf dan Aliran kebatinan, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press.
suwito, 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Tafsir, Ahmad, 1998. Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
____________, 2010. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
____________, 2010. Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Thoha, Chabib, dkk. 1996. Refolmulasi Filsafat Pendidikan Islam, (yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arief Subhan; 2005 dikutip dari Http://Izaskia.Wordpress.Com/2009/08/28/Madrasah-Menanti-Fajar-Menyingsing-Bag-3/#More-401  (down loud, hari kamis. 16 pebruari 2012. 14.18)



[1] Orang kecil yang belajar menulis, yang tulisanya tak kunjung bermutu.
[2] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1998), hlm. 6.
[3] Sugihartono, dkk. Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2007), hlm. 3.
[4] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 136.
[5]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 50.
[6] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 889.
[7] suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005). Hlm .214.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 184
[9] Arief Subhan; 2005 dikutip dari Http://Izaskia.Wordpress.Com/2009/08/28/Madrasah-Menanti-Fajar-Menyingsing-Bag-3/#More-401  (down loud, hari kamis. 16 pebruari 2012. 14.18)
[10] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 161
[11] Deliar Noor, gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1991) h. 50-51.
[12] Arief Subhan; 2005 dikutip dari Http : // Izaskia. Wordpress. Com / 2009 / 08 / 28 / Madrasah-Menanti-Fajar-Menyingsing-Bag-3/#More-401  (down loud, hari kamis. 16 pebruari 2012. 14.18).
[13] ChabibThoha, dkk. Refolmulasi Filsafat Pendidikan Islam, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm, 193.
[14] Achmadi, Dalam Chabib Thoha, dkk. Ibid., hlm, 289.
[15] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, paradigma baru pendidikan hadhari berbasis integratif interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), hlm. 2.
[16] Romdon, Tasawuf dan Aliran kebatinan, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1995), hlm. 2.
[17] Abd. Rachman Assegaf, Op.Cit., hlm. 89.
[18] Achmadi, Dalam Chabib Thoha, dkk., hlm, 289-290.

CIVIL SOCEITY DAN MASYARAKAT MADANI


CIVIL SOCEITY DAN  MASYARAKAT MADANI
Jalan Panjang  Menuju Masyarakat Indonesia  Berperadaban

Oleh : Hujair  Sanaky


A.  Pendahuluan
 “Civil society dan/atau “masyarakat madani” merupakan salah satu upaya untuk mengerti bagaimana kita dapat menjadi bangsa negara [nation-state], yang baik1. Wacana civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersama dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat [LSM]2 di Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Pada dekade tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang sangat hegemonik yang ditandai penetapan “Pancasila” sebagai asas tunggal. Wacana lain yang muncul diluar Pancasila “ibarat barang haram” yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi dengan tindakan hukum yang represif3.
 Indonesia, menurut Prof. Bernard Adeney, “sudah memiliki definisi yang cukup hebat tentang masyarakat baik atau civil atau “madani”, yaitu Pancasila4.  Menurutnya, pancasila muncul sebagai hasil dari musyawarah mufakat yang menyatakan semacam visi untuk civil society. Menurut Prof. Bernard Adeney, visi ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : [1] Pancasila dimengerti sebagai persetujuan [mufakat], tentang apa yang menjadi landasan bangsa negara yang paling mendasar. “Yang paling dasar” dapat diterjemahkan sebagai yang paling minimal. Pancasila merupakan visi bangsa negara yang dapat disetujui oleh semua unsur masyarakat Indonesia, walaupun bukan visi paling sempurna kelompok-kelompok tertentu. [2] Pancasila diciptakan sebagai aturan main, yaitu sila-sila yang mangatur proses membangun bangsa negara yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa struktur negara, hukum da kebijaksanaan pemerintah adalah seyogianya sesuai dengan Pancasila.  Proses membangun negara yang jelas bertentangan dengan Pancasila seharusnya ditolak. [3] Pancasila juga dimengerti sebagai tujuan ideal bangsa negara Indonesia. Indonesia bertekad menjadi bangsa negara yang “pancasilais” walaupun tujuan ideal itu belum terwujud” 5.   
Civil Society merupakan semacam konstruksi sosial simbolis yang tidak pernah terwujud secara riel atau nyata dalam masyarakat manapun. Tidak ada kenyataan yang dapat disebut Civil Society di dunia nyata. Hal ini juga sama dengan simbol masyarakat madani adalah suatu simbol tentang salah satu visi dari suatu masyarakat. Menurut  Prof. Bernard Adeney, ada saudara Muslim yang menegaskan bahwa sudah pernah ada masyarakat madani, yaitu masyarakat Madinah. Namun, Madinah, telah lahir “ratusan tahun yang lalu bukan sama dengan Indonesia abada 21”. Apabila masyarakat Indonesia yang madani diusahakan, akan menjadi perbuatan yang kurang lebih baru di dunia ini dan tidak pernah sempurna6.
Apakah civil society dan masyarakat madani dapat dilaksanakan atau diiaktualisasikan di masyarakat Indonesia. Jawaban sementara, apabila konsep ini akan diaktualisasikan di masyarakat Indonesia, diperlukan suatu perubahan mendasar dan langkah-langkah kontinyu sistimatis yang dapat merubah paradigma, kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Indonesia. Walaupun di sisi lain Prof. Bernard, menyatakan bahwa “masyarakat madani”  kurang cocok lagi untuk masyarakt Indonesia pada abad 21 ini. Kedua konsep ekstrim ini [yang liberal Barat dan yang Muslim Arab], kurang cocok di Indonesia dan kita harus mencari pengertian kedua konsep tersebut agar sesuai dengan sejarah dan konteks Indonesia7.   Menurut hemat pemakala, “karakteristk” atau ciri-ciri masyarakat madani dapat digunakan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, artinya dilakukan pembaruan.  Maka apabila kita menginginkan untuk mewujudkan kedua konsep ini, tanpaknya masyarakat dan bangsa Indonesia harus disiapkan dan siap untuk  “membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik untuk mendukung ciri-ciri atau karakteristik masyarakat madani dan civil society  yang diharapkan”.  Walaupun, “cita-cita civil society atau masyarakat madani  yang dapat diterima oleh keseluruhan bangsa-negara Indonesia belum jelas”8.
Dari pemikiran di atas, pembahasan lebih difokuskan pada “masyarakat madani”. Oleh karena itu, terlebih dahaulu sedikit menelususi akar sejarah, makna  “civil society” dan "masyarakat madani", kemudian mencari  perbedaan kedua konsep ini, membahas  perubahan menuju masyarakat madani Indonesia dengan fokus pada tantangan, peluang, serta  terebosan untuk mewujudkan masyarakat  Indonesia berperadaban.   

B. Akar Sejarah, Makna Civil Society  dan Masyarakat  Madani   
Sebagai konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbukan terhadap perkembangan, pemaknaan dan penafsiran.  Jika dilacak secara emperik istilah civil society  merupakan terjemahan dari istilah Latin, civilis societas, yang mula-mula dicetuskan dan dipakai oleh Cocero [106-43 S.M] seorang filsuf, orator   dan pujangga Roma -  yang berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu.  Pengertiannya mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Maka masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik [political society]9 yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup10.
Pada mulanya civil society dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga.  Dalam konteks ini, civil society  identik dengan negara.  Hegel, termasuk yang membolehkan negara melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi dan politik. Tetapi pada perkembangan selanjutnya,  civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas yang terpisah dari negara.  Tokoh yang memulai adalah Thomas Pain [1792] yang memaknai civil society dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society11  dinilai sebagai antitesis negara12.
Wacana Civil society dan/atau “masyarakat madani”  bukan merupakan konsep yang dengan mudah dapat diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tetapi secara teknis ”kebahasaan” juga sulit ditemukan padanan atau kesamaannya. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat sipil”, yang kemudian diperhadapkan dengan masyarakat militer. Ada yang menerjemahkan sebagai “masyarakat madani” dengan merujuk pada ideal type masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam.  Padahal civil society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu Negara yang disebut nation-state [Negara bangsa], bukan Negara yang didasarkan pada agama maupun Negara yang didasarkan pada suku [tribal-state]13. Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan.  Tanpaknya, terjemahan terakhir inilah yang agaknya lebih dekata dengan substansi civil society.  Tetapi masih ada juga kelompok lain yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society, karena kemungkinan sulit dicari padanannya dalam konteks bahasa Indonesia.  
Tanpaknya dari pandangan di atas, kita mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata ”civil society” dalam bahasa Indonesia, sehingga kata ini diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu ”masyarakat sipil”, ”masyarakat madani”,  ”masyarakat warga” atau ”masyarakat kewargaan”.  Prof. Bernard Adeney, mengatakan bahwa makna civil society tidak ada satu kata dalam bahasa Indonesia yang cocok untuk menerjemahkan kata bahasa Inggris “civil”.  Juga dalam bahasa Inggris sendiri-pun mempunyai banyak makna yang berbeda,  tetapi mempunyai banyak nuansa lain. Konsep ini sangat kaya dan sekaligus agak kabur14.  
Prof. Bernard Adeney mencoba mengemukakan tiga makna dari kata civil, yang paling cocok dengan istilah civil society, yaitu :   Pertama, Civil dapat berarti ”civilized” atau beradab.  Civil Society bearti masyarakat beradab atau madani, walaupun maknanya kurang jelas. Tetapi dalam bahasa Inggris, paling sedikit, civil berarti hubungan diantara masyarakat yang sopan, halus dan toleran terhadap satu sama lain. Menurutnya, ini adalah makna civil yang minimal dan bukan maksimal. Artinya, civil tidak bermaksud mencintai, gotong royong, bersaudara, kerja bahu-membahu atau bahkan simpatik. Civil hanya berarti sopan, toleran, tidak kasar.  Kedua, Civil – berarti seorang, kelompok,lembaga atau instansi yang ”bukan negara” [state].  Biasanya pengertian ini lebih ditekankan adalah lembaga dan institusi yang diciptakan masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah.  Konsep ini lebih terfokus pada pemisahan kekuasaan [separation of power], yaitu pemerintah tidak boleh menguasai atau mengendalikan perkumpulan masyarakat kecuali ketika kebaikan umum [common good] terancam.  Maka lembaga masyarakat seperti LSM atau lembaga pendidikan, atau lembaga agama seharusnya bebas untuk mengatur diri sendiri, selama mereka tidak melanggar hukum atau mengganggu kelompok lain. Lembaga-lembaga LSM, tokoh-tokoh universitas, wartawan-wartawan dan pemimpin-pemimpin agama.  Ketiga, civil - berarti ”bukan militer”. Seorang ”civilian” adalah yang bukan militer.  Dari makna ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat civil [sipil] adalah masyarakat yang terpisah dari militer dan tidak termasuk militer.  Militer tidak boleh campur tangan dengan kehidupan masyarakat sipil. Dalam hal ini, tidak hanya ada civil  society tetapi juga civil government [pemerintahan sipil]. Pemerintah sipil tidak dikuasai oleh militer dan tidak boleh memerintah atau mengendalikan masyarakat melalui militer15.
Dari ketiga makna di atas, dapat disimpulkan bahwa ”civil society sebagai masyarakat yang sopan dan toleran terhadap satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui perbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah, dan yang bebas dari paksaan, ancaman dan kekerasan militer.  Definisi seperti ini bersifat ideal dan minimal. Ideal dalam arti belum pernah ada masyarakat seperti ini terwujud secara sempurna dan masyarakat Indonesia masih agak jauh dari gambaran defenisi ini”16 atau protitype masyarakat ini.  Begitu juga ”masyarakat madani” yang merupakan kata lain dari civil society.  Kata ini sering disebut sejak kekuatan otoriter Orde Baru tumbang selang satu tahun. Malah  cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah-oleh implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Identifikasi protitype civil society dan masyarakat madani semacam ini sebetulnya dapat dipahami dan ideal untuk suatu masyarakat, meski mungkin masih dapat diperdebatkan. Pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan pemerintahan.  Katakan saja, organisasi-organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas biasa besar, seperti NU dan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dapat dianggap mandiri, otonom, dan steril dari intervensi Negara. Hal ini bukan berarti organisasi itu tidak mampu bersikap ”independent” dan ”otonom”, tetapi negara dan atau pemerintahan versi Orde Baru merupakan Negara yang mengurusi hampis segala hal atau segala aspek kehidupan, bahkan sampai pada hal yang sifatnya paling pribadi seperti dalam kasus KB, diatur oleh negara.  Dari kondisi ini dapat dipahami bahwa civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam kekuasaan Orde Baru17. 
Berbicara tentang wacana dan gagasan "masyarakat madani" yang berkembang di Indonesia merupakan terjema­han dari civil society?, tetapi masih dipertanyakan, apakah sama antara istilah "masyarakat madani" dengan istilah civil society.  Berbagai "pemikiran yang dilontarkan seputar civil society, yang di Indonesia telah diterjemahkan menjadi "masyarakat sipil" atau "masyarakat madani". Padahal kita tahu, bahwa sebenarnya istilah ini merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat, khususnya di negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika, dalam perhatian mereka terhadap perkembangan ekono­mi, politik, sosial-budaya18. Sedangkan masyarakat madani lahir dari ”masyarakat Muslim Arab”  yang juga memiliki akar budaya yang berbeda dan masyarakat di Madinah berdasarkan syariat Islam.  Tentu saja kedua konsep ini secara sosial, budaya dan politik berbeda dengan sosial-budaya dan politik masayarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.  Tetapi tidak menutup kemungkinan, menurut Prof. Bernard Adeney, bahwa  ”masyarakat madani merupakan konsep yang lebih cocok untuk Indonesia, atau untuk sebagian dari masyarakat Indonesia, dari pada konsep civil society”19.  Kenapa, karena secara sosio-relegius ada kesamaan pandangan dan pemahaman dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, bila dibandingkan dengan konsep civil society yang berasal dari pemikiran liberal Barat.
Istilah masyarakat madani, pertama kali dipopulerkan oleh Muhammad an-Naquib al-Attas, yaitu 'Mujtama' madani atau masyarakat kota. Istilah ini secara etimologi mempunyai dua arti, yaitu : [1]  "Masyarakat kota. Ini berarti  madani adalah derivat dari kata bahasa Arab, ”Madinah” yang berarti kota. [2] Masyarakat yang berperadaban, karena madani adalah juga merupakan derivat dari kata Arab tamaddun atau madaniah yang berarti ”peradaban”, dengan demikian masyarakat madani adalah ”masyarakat yang beradab”.  Peradaban dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah  civility atau civilization. Dari pengertian ini kemudian istilah masyarakat madani disamakan dengan civil society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban[1]20.
Di Indonesia, Istilah masyarakat madani pertamakali dibawa dan dipopulerkan  Dato Seri Anwar Ibrahim, pada saat menghadiri Fertival Istiqlal di Jakarta. Istilah "masyarakat madani" menurutnya sebagai terjemahan "civil society"21. Namun istilah masyarakat madani, tidak identik dengan civil society.  Walaupun ada kesamaan konsep tentang masyarakat beradab, sopan, toleran, dan sebagainya, tetapi masyarakat madani di Madinah dibangun berdasarkan syariat Islam. Ini menunjukkan letak perbedaan anatara konsep masyarakat madani dan civil society. Maka dalam memperkenalkan pengertian masyarakat madani di Indonesia, Nurcholis Madjid mengacu pada konsep "negara kota Madinah" yang dibangun Nabi Muhammad saw pada 622 M, dengan syariat Islam. Istilah masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamaddun [masyarakat berperadaban] yang diperkenalkan Ibn Khaldun dan konsep al-madinah al-fadhilah [negara utama] yang dikemukakan filsof Al-Farabi pada abad pertengahan22.
Nurchalis Madjid, mengatakan perkataan Arab "Madinah" artinya kota, dan secara etimologis berarti "tempat peradaban". Menurutnya, pengertian Madinah mirip atau padanan perkataan Yunani "polis" [seperti dalam nama kota "Constantinopel], dan "Madinah" dalam pengertiannya sama dengan "hadharah" dan "isaqarah", yang masing-masing sering diterjemahkan "peradaban" dan "kebudayaan". Kedua istilah ini  secara etimologis mempunyai arti "pola kehidupan menetap" sebagai lawan "badawah" yang berarti pola kehidupan mengembara, "nomad".  Maka perkataan "madinah", dalam peristilah modern, menunjuk kepada semangat dan pengertian "civil society", istilah Inggris yang berarti "masyarakat sopan, beradab dan teratur" dalam bentuk negara yang baik23.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa konsep "masyarakat madani" adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kedasaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Dengan demikian, variabel utama masyarakat madani adalah masyarakat beradab, sopan, teratur, memiliki kemandirian [otonomi], kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum. Jadi konsep masyara­kat berperadaban dalam masyarakat madani adalah masyarakat yang berpegang teguh pada peradaban dan kemanusiaan, masyarakat yang bercirikan kebebasan dan demokrasi dalam berinteraksi di dalam masyarakat yang plural.
Dari paparan di atas, dapat kita lihat perbedaan yang tampak jelas adalah civil society tidak mengaitkan prinsip tatanan pada agama tertentu, sedangkan masyarakat madani [al-madaniy] jelas mengacu pada agama Islam. Konsep masyarakat madani adalah bangunan politik yang demokratis, menghormati dan menghargai publik seperti: kebebasan hak asasi, partisi­pasi, keadilan sosial, menjunjung tinggi etika dan moralitas, dan lain sebagainya yang didasarkan pada syariat Islam. Hal inilah yang mungkin dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat no-muslim apabila konsep masyarakat madani diujudkan di Indonesia.  Kekhawatiran itu tidak perlu muncul, apabila konsep masyarakat madani  difahami sebagai masyarakat yang berperadaban, bera­dab, masyarakat sipil, menghargai perbedaab agama dan menghargai pluralistik. Tuntutan masyarakat madani yang diharapkan kaum reformis adalah "masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar"24, masyarakat yang "jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak kepada yang lemah, menjamin kebebasan bera­gama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia"25, dapat diujudkan di masyarakat Indonesia yang plural.
Melihat konsep masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, sopan dan teratur apakah dapat diujudkan di Indonesia. Kelihatannya masyarakat Indonesia mengalami kendala untuk menerapkan konsep civil society dan masyarakat madani, sebab setelah rezim Orde Baru tumbang dan dimulai dengan ”era reformasi” yang menggiring masyarakat Indonesia ke-euforia domokrasi yang berdampak pada “euforia kebebasan” yang nyaris “kebablasan”.  Indikasinya, masyarakat bertindak bebas dan anarkis, masyarakat main hakim sendiri, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan hal yang biasa,  kekerasan terjadi dimana-mana, konflik bernuansa SARA yang terjadi Maluku [Ambon], Maluku Utara dan Poso, tindak kekerasan terhadap aliran agama tertentu [Ahmadiyah], peristiwa tragis  berdarah di depan Universitas Cendrawasi Abepura Papua yang bersifat anarkis dan “kebablasan” sehingga menelan korban jiwa, dan peristiwa kekerasan lain yang terjadi di masyarakat Indonesia.  Itulah realitas kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.  Menurut Prof. Bernard Adeney, perilaku semacam ini, dikatakan  “kurang civil, bahkan dapat dikatakan “uncivil society  [masyarakat biadab]”26.  Dengan realitas ini, mungkinkah kita akan mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh dari protetype civil society dan “masyarakat madani” atau yang selalu disebut dengan istilah  “Indonesia Baru”.     
Dengan mengetahui akar sejarah dan makna civil society dan masyarakat madani sebagai masyarakat yang beradab, berperadaban, masyarakat sipil, masyarakat yang sopan, teratur dan pluralistik, maka perlu untuk mengkaji karakteristik masyarakat madani sebagai upaya untuk melakukan pembaruan sosio-kultural masyarakat Indonesia, walaupun akan melalui jalan yang panjang sekali.

C.  Karakteristik  Masyarakat Madani
Dari gambaran "masyarakat madani" dari para ahli tersebut,  timbul pertanyaan protetype apakah yang menjadi karakteristik  masyarakat tersebut.  Secara umum dapat disimpulan, bahwa karakteris­tik "masyarakat madani" adalah masyarakat kota, masyarakat yang berperadaban, masyara­kat yang dapat menciptakan peradaban, masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar yaitu pola kehidupan masyarakat yang menetap dan bukan masyarakat nomaden. Masyarakat terbuka, pluralistik, menjamin kebebasan beragama, jujur, adil, kemandir­ian, harmonis, menjamin kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia.  Pelaku sosial akan selalu berpegang teguh pada perada­ban dan kemanusian, yang selalu bercirikan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang plural dan heterogen.
Katakan saja, masyarakat madani yang akan diwujudkan antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut :  [1] Masyarakat beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki pemahaman mendalam akan agama serta hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan agama masing-masing. [2] Masyarakat demokratis dan beradab yang menghargai adanya perbedaan pendapat. Memberi tempat dan penghargaan perbedaan pendapat serta mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. [3] Masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia, mulai dari hak untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat, hak atas kehidupan yang layak, hak memilih agama, hak atas pendidikan dan pengajaran, serta hak untuk memperoleh pe­layanan dan perlindungan hukum yang adil. [4]  Masyarakat tertib dan sadar hukum yang direfleksikan dari adanya budaya malu apabila melanggar hukum, dan [5] Masyarakat yang kreatif, mandiri dan percaya diri. Memiliki orientasi kuat pada penguasaan ilmu pengatahuan dan teknologi. [6] Masyarakat yang memiliki semangat kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan universal [pluralistik]27.  Karakteristik28 yang dikemukakan ini sangat ideal, perlu upaya untuk membangun infrastruktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan pendidikan. Upaya untuk mengeliminir dan mengatasi berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di negeri ini, sehingga dapat mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia.
Karakteristik masyarakat madani merupakan ciri yang sangat idial, sehingga mengesankan seolah-olah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, hanya masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw yang relatif memenuhi syarat tersebut.  Muncul kesan seolah-olah tak ada masyarakat seideal masyarakat madinah. Memang hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni]. Terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa pun periwayatnya29. Diakui  bahwa masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad Saw sebagai masyarakat terbaik dan berperadaban, karena masyarakat Madinah yang dipim­pin langsung oleh Nabi Muhammad Saw merupakan prototype masyarakat idial.  Dalam wacana ini, orang  cenderung menyamakan konsep masyarakat madani dengan civil society30, karena sama-sama membangun peradaban manusia.
 Nurchalis Madjid, menyatakan bahwa "masyarakat madani" yang dibangun  Rasul di Madinah dengan azas yang ter­tuang dalam "Piagam Madinah", memiliki 6 [enam] ciri utama, yaitu : [1] egalitarianisme, [2] penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi [bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya], [3] keterbukaan [partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif], [4] penegakan hukum dan keadi­lan, [5] toleransi dan pluralisme serta [6] musyawarah31.  Mungkin saja, ke-enam karakteristik32  ini  dapat dilaksanakan atau diujudkan dalam masyarakat Indonesia, asalkan masyarakat Indonesia siap merubah semua aspek kehidupan.
Dari uraian di atas, jelas konsep civil soceity berasal dan muncul dari pandangan pemikir-pemikir Barat, kemudian konsep ini diakomudasikan dalam wacana pemikiran Islam.  Padahal Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas dan gamblang dalam asas dan perinciannya tentang masyarakat ideal yang wajib diwujudkan kaum muslimin.  Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang di dalamnya dapat merealisasikan nilai-nilai khas yang terpancar dari aqidah. Dari aqidah tersebut, memancarkan apa yang disebut dengan egaliter, pluralisme, toleransi, demokrasi.
Nurchalis Madjid, "berusaha menawarkan persepsi yang sama antara masyarakat madani dalam suatu bentuk yang disebut "Ijtihad kontemporer" sebagai alternatif ideal masyarakat masa depan Indonesia dengan protetype masyarakat Rasul di Madinah.  Ide Nurchalis Madjid ini, dikiritik oleh pemikir-pemikir Islam lainnya di Indonesia, dikatakan bahwa Nurchalis Madjid, telah melakukan suatu penganalog yang sangat tidak adil dan tidak beralasan karena hanya melihat masyarakat madani dari segi kemajemukan semata tanpa mengaitkan dengan sistem khas yang telah mengatur tatanan masyarakat Madinah tersebut sedemikian rupa33, se­hingga dipertanyakan apakah konsep Nurchalis Madjid itu lebih dekat kepada masyar­akat Islam di Madinah atau jangan-jangan lebih mirip dengan masyarakat di Barat liberal.  Padahal negara dan masyarakat Madani yang dibangun Nabi Muhammad Saw adalah negara dan masyarakat yang "kuat" dan "solid" dengan nilai-nilai khas yang terpancar dari keyakinan aqidah Islamiyah.  Negara yang dibangun di atas masyarakat yang bersatu tidak hanya karena kepentingan yang sama yang menjadi sebab terbentuknya mayoritas negara modern, tetapi terbentuk karena memiliki perpektif yang sama, perasaan yang sama dan misi yang sama dalam membangun suatu masyarakat. Maka atas dasar persamaan ini menjadikan seluruh perbedaan yang ada seperti perbedaan suku, warna, ekonomi dan sebagainya hanya menjadi keberagaman dan kekayaan bukan sebab perpecahan34.
Terlepas dari perdebatan tersebut di atas, karakteristik dan ciri masyarakat madani yang dikemukakan adalah sangat ideal. Cleary and Watson dalam Antonio Rosmini [1986:vii], menyatakan bahwa masyarakat madani atau civil soceity adalah "organi­sasi manusia yang sempurna, sebagai konsekuensi perkembangan hidup dan kuantitasnya, dan manakala bakat-bakat alamiah yang ia miliki saling bersinggungan dan bergesekan35. Banyak pemikir yang menyatakan, bahwa untuk membangun masyarakat madani diper­lukan tingkat pendidikan yang memadai dan berkualitas, ekonomi yang memadai, suasana dan kesadaran politik yang kondusip, demokrasi,  hukum yang kondusip serta mendukung, dan jaminan keamana sebagai prasyarat untuk membangun masyarakat madani. Selain itu, masyarakat madani dengan karakteristik tersebut hanya dapat diwujudkan melalui pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan peran pendidikan untuk membangun masyarakat tersebut.

D. Proses  Perubahan Menuju Masyarakat Madani di Indonesia
Proses perubahan menuju masyarakat madani sangat terkait dengan kehidupan politik bangsa, budaya, pendidikan, berpikir kritis, hukum, keadilan, keterbukaan, kemaje­mukan atau pluralisme serta perlindungan terhadap kaum minoritas. Dalam masyarakat madani tercipta "keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan masyarakat. Inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, teknol­ogi, dan pelaksanaan pemerintahan yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik"36. Tercipta "kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media massa, betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah"37, dan   "masyarakat yang dapat mengembangkan sumberdayan­ya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial berjalan sebagaimana mestinya"38.
Masyarakat Indonesia sedang berada dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidu­pannya39 menuju kehidupan masyarakat madani. Muncul tuntu­tan untuk mewujudkan pemerintahan bersih, pada satu sisi dan cita-cita mewujudkan ma­syarakat madani [civil society], nampaknya tidak boleh ditawar-tawar lagi. Proses untuk menuju dan mewujudkan masyarakat madani tentu tidak mudah, karena diperlukan beberapa persyaratan untuk mengimplemtasikan konsep tersebut, tantangan yang dihadapi, serta peluang melakukan perubahan menuju masyarakat madani yang dicita-citakan, yaitu :
1.   Persyaratan Menuju Masyarakat Madani
Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu tidak mudah untuk dicapai begitu saja. Dibutuhkan beberapa persyaratan agar gagasan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Beberapa persyaratan yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat madani, yaitu : Pertma, pemahaman yang sama [One Stan­dard], Kedua, adanya keyakinan [Confidence] dan saling percaya [Social Trust], Ketiga, satu kesatuan atau satu hati dan saling tergantung, Keempat, perlu adanya kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi40, menuju masyarakat madani[49]41.
Jika keempat persyaratan di atas dapat dipenuhi, maka relatif akan lebih mudah untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan. Maka, kunci utama dari keberhasil mewujudkan masyarakat madani yang dicita-citakan itu, secara kultural antara lain terletak pada prasyarat-prasyarat yang disebutkan di atas. Kemudian selain keempat persyaratan tersebut, yang harus diperha­tikan adalah tantangan yang hadapi dewasa ini untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.


2.   Tantangan Menuju Masyarakat Madani
Untuk mewujudkan masyarakat madani di Indonesia dengan ciri serta persyaratan yang dikemukakan tentu bukan merupakan hal yang mudah. Diperlukan upaya, kerja keras dan daya tahan yang tinggi untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan yang hadir, baik kendala yang berhubungan dengan struktur sosial, maupun kendala yang berkai­tan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang pada saat ini sedang mengalami berbagai guncangan"[50] sepeti krisis moneter, tuntutan pemerintahan yang demokrasi, bersih serta berwibawa. Konflik antara masyarakat dibeberapa daerah yang mengarah kepada disintegrasi bangsa. Secara umum ada dua kendala yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, yaitu kendala yang bersifat struktural maupun kultural.
Pertama, secara struktural dominasi negara dan birokrasi kekuasaan masih sangat kuat, sehingga wilayah masyarakat madani terdesak. Kondisi ini sebagai akibat dari budaya politik yang ditinggalkan Orde Baru, karena selama Orde Baru telah tercipta suatu kehidupan bangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Pemerintahan Orde Baru yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, tidak kritis, manusia yang bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya mengabdi kepada kepentingan sekelompok kecil rakyat Indonesia[51].  Masyarakat Indonesia selama 32 tahun telah terkooptasi dengan budaya politik pemerintah Orde Baru. Kehidupan "demokrasi telah dipasung sehingga tidak ada kebebasan berpendapat apalagi berbeda pendapat. Pikiran manusia diarahkan kepada hanya ada satu kebenaran yaitu untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada"[52]. 
Kedua,  secara kultural, warga masyarakat masih terper­angkap dalam mentalitas dan budaya paternalistik. Orientasi dan ketergantungan pada pemimpin dan penguasa masih tinggi, membuat kemandirian kurang berkembang[53].  Tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah pluralitas ma­syarakat Indonesia. Pluralitas tidak hanya berkitan dengan budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Bangsa Indonesia telah lama merdeka, tetapi pluralitas masyarakat itu kurang dimanfaatkan sebagai potensi yang didinami­sasikan untuk memacu pembangunan. Kebijakan politik pembangunan selama ini justru berkesan menjadikan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi suatu masyarakat yang mengarah pada bentuk uniformitas [menyeragamkan]. Usaha uniformitas melahirkan tuntu­tan rasa kedaerahan yang menonjol. Kondisi ini dapat dilihat dari semakin ramainya perde­batan tentang pentingnya putra daerah untuk diangkat menjadi pejabat[54]. Usaha uniformitas yang dilakukan pemerintah telah membawa kontra produktif.

3.   Peluang Perubahan Menuju Masyarakat Madani
Pada era reformasi, masyarakat menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang, karena "era reformasi menuntut perubahan total dalam kehidupan bangsa dan ma­syarakat untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat madani Indonesia". Reformasi menuntut perubahan dalam semua aspek kehidupan khususnya bidang politik, pemerintahan, ekonomi dan budaya. Perubahan dalam bidang politik terutama diarahkan kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan tuntutan konstitusi 1945[55]. Visi perubahan lebih ditekankan pada pendekatan kemanusiaan untuk menuju masyarakat madani atau civil society yang berkeadilan, berkeadaban dan mandiri di segala bidang dalam tatanan kehidupan yang harmonis.