This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 29 Mei 2013

ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM PERIODE PRA KLASIK DAN PERIODE PERTENGAHAN



ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM PERIODE PRA KLASIK
DAN PERIODE PERTENGAHAN


BAB I
PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam sebagai mana yang tercantum dalam al-qur’an dan al-hadits serta dalam pemikiran para ulama dalam peraktek sejarah umat islam.[1] Sedangkan Burlian somad mengungkapkan bahwa. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Allah.[2]
Menganalisis tentang pendidikan islam pra klasik tentunya pola pikir kita akan mengarah kepada pola pendidikan sebelum datangnya islam. Yang sesungguhnya ada merupakan pendidikan pada jaman Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw, yang dimulai dari Nabi Adam As.
Pendidian Islam yaitu proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedomankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Quran dan terjabar dalam sunnah Rosul.[3] Oleh karena itu, Sejarah Pendidikan Islam dimulai sejak sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW ke dunia, yakni sejak nabi Adam pun Pendidikan Islam telah ada, akan tetapi banyak para sejarawan seperti Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam dimulai sejak diutusnya nabi Muhammad SAW ke dunia dengan membawa ajaran Islam , kedua pendapat ini tidak salah akan tetapi penulis lebih sependapat bahwa pendidikan Islam dimulai sejak nabi Adam diturunkan kebumi, karena pesan substansial yang disampaikan oleh pendidikan Islam adalah nilai-nilai ke—Tauhidan, dan semenjak nabi Adam telah disampaikan nilai –nilai ketauhidan kepada Manusia, hanya saja pada saat itu Islam belum diverbalkan sehingga ini yang menjadi pemicu perbedaan tersebut. ,seperti di dalam alqura’an surat Al-baqoroh ayat 30-38.[4]
Peneliti menyajikan tentang pendidikan islam pra kasik , dengan argumentasi bahwa pola pendidikan sebelum datangnya islam, akan tetapi pola pendidikan tersebut di abadikan dalam Al Quran dan tentunya telah di insyafi bahwa Al Quran itu sumber dari ajaran Islam. Maka kami menyebutnya pendidikan Islam pra klasik, sedangkan telah dipahami secara umum bahwa islam itu turun kepada nabi Muhammad Saw, dapat disimpulkan bahwa pendidikan islam itu dimulai dari masa Nabi Muhammad Saw. Walaupun nilai-nilai pendidikan itu didapat dari tauladan nabi sebelumnya yang telah diabadikan dalam Al Quran.
Kami juga akan menyajikan tentang pola pendidikan pada abad pertengahan. Dimana pada abad pertengahan sebagaimana telah dicatat oleh sejarah bahwa puncak kejayaan peradaban islam terjadi pada abad tersebut.
Sudah barang tentu kemajuan dan perkembangan sejarah suatu peradaban tidak mungkin bisa lepas dari peran pendidikan, tentu kemajuan peradaban tersebut didukung oleh kemajuan-kemajuan disektor lain, misalnya ekonomi, polotik budaya dan masik banyak sector yang mendukung kemajuan suatu peradaban.
B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas peneliti akan merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam bab-bab selanjunya,  rumusan masalahnya adalah sebahai berikut:
1.      Pola Pendidikan Islam Periode Pra Klasik
2.      Pola Pendidikan Islam Periode Pertengahan

C.      TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui tujuan pendidikan Islam Periode Pra Klasik
2.      Mengetahui tujuan pendidikan Islam Periode Pertengahan














BAB II
PEMBAHASAN

1.      PENDIDIKAN ISLAM PRA KLASIK
Sejarah pendidikan manusia adalah sepanjang sejarah kehidupannya. Sejarah ini dimulai sejak kemunculan manusia, sekaligus Rasul Allah--pertama, Âdam as., di surga. Di sana Allah mengajari Âdam as. seluruh nama benda (barang), sebagai bentuk pendidikan. Hal mana, pada gilirannya itu menjadi bekal ketika Allah menunjuknya sebagai khalifah (wakil) di bumi. Sejak itu --dan juga sebab itu-- Allah melebihkan derajat manusia di atas para malaikat bahkan semua makhluk. Dan karena itu Allah memerintahkan para malaikat dan iblis untuk bersujud (hormat) kepada Âdam as.[5] 
Alqura’an surat Al-baqoroh ayat (30). “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(31). dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". (32). mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Nilai-nilai pendidikan pada masa nabi adam antara lain yaitu di antaranya Bahawasanya hikmah yang terkandung dalam perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan dalam apa yang diciptakannya kadangkala tidak atau belum dapat dicapai oleh otak manusia bahkan oleh makhluk-Nya yang terdekat sebagaimana telah dialami oleh para malaikat tatkala diberitahu bahawa Allah akan menciptakan manusia - keturunan Adam untuk menjadi khalifah-Nya di bumi sehingga mereka seakan-akan berkeberatan dan bertanya-tanya mengapa dan untuk apa Allah menciptakan jenis makhluk lain daripada mereka yang sudah patuh rajin beribadat, bertasbih, bertahmid dan mengagungkan nama-Nya.
Bahawasanya manusia walaupun ia telah dikurniakan kecerdasan berfikir dan kekuatan fizikal dan mental ia tetap mempunyai beberapa kelemahan pada dirinya seperti sifat lalai, lupa dan khilaf.Hal mana telah terjadi pada diri Nabi Adam yang walaupun ia telah menjadi manusia yang sempurna dan dikurniakan kedudukan yang istimewa di syurga ia tetap tidak terhindar dari sifat-sifat manusia yang lemah itu.Ia telah lupa dan melalaikan peringatan Allah kepadanya tentang pohon terlarang dan tentang Iblis yang menjadi musuhnya dan musuh seluruh keturunannya, sehingga terperangkap ke dalam tipu daya dan terjadilah pelanggaran pertama yang dilakukan oleh manusia terhadap larangan Allah.
Bahawasanya seseorang yang telah terlanjur melakukan maksiat dan berbuat dosa tidaklah ia sepatutnya berputus asa dari rahmat dan ampunan Tuhan asalkan ia sedar akan kesalahannya dan bertaubat tidak akan melakukannya kembali.Rahmat allah dan maghfirah-Nya dpt mencakup segala dosa yang diperbuat oleh hamba-Nya kecuali syirik bagaimana pun besar dosa itu asalkan diikuti dengan kesedaran bertaubat dan pengakuan kesalahan.
Sifat sombong dan congkak selalu membawa akibat kerugian dan kebinasaan.Lihatlah Iblis yang turun dari singgahsananya dilucutkan kedudukannya sebagai seorang malaikat dan diusir oleh Allah dari syurga dengan disertai kutukan dan laknat yang akan melekat kepada dirinya hingga hari Kiamat karena kesombongannya dan kebanggaaannya dengan asal-usulnya sehingga ia menganggap dan memandang rendah kepada Nabi Adam dan menolak untuk sujud menghormatinya walaupun diperintahkan oleh Allah Swt.
Namun demikian, telah diketahui bahwa Allah menurunkan ajaran Islam kepada umat manusia tersebut melalui proses yang panjang, melalui serangkaian urutan Rasul-rasul. Seorang Rasul diutus oleh Allah pada hakikatnya adalah menyempurnakan dan meluruskan kembali ajaran Islam yang telah diselewengkan atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perkembangan budaya manusia. Seorang rasul yang diutus kemudian, berfungsi menyempurnakan dan meluruskan ajaran islam yang dibawa oleh rasul sebelumnya.[6]
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa Pendidikan Islam yang berlangsung mulai dari nabi dan rasul  sebelum Nabi Muhammad di utus kebumi dan memilki orientasi penanaman nilai—nilai ketauhidan, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Nuh AS, Nabi Isa AS dan para Nabi yang lain, akan tetapi pada masa mereka Pendidikan Islam hanya di sampaikan kepada Umat beliau saja, dan ini sesuai dengan peran mereka, beda halnya dengan pada Masa Nabi Muhammad Pendidikan Islam disampaikan kepada semua Umat, hal ini senada dengan Firman Allah “Inna Arsalnaka Illa Rahmatan Lil Alamin”.
Sedangkan dari pada itu. Pada masa sebelumnya (pra-Islam), di negeri Arab., tempat Muhammad dilahirkan dan dibesarkan telah ada sebuah pendidikan. Pendidikan tersebut lebih didominasi oleh pengajaran tentang puisi. Kehadiran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dan disertai kitab sucitersebut, selanjutnya menentukan arah pendidikan bagi dunia Arab yang baru, setelah suku-suku dari gurun dan para pedagang dari desa-desa pantai masuk Islam.[7] Sebagai konsekuensi, Nabi Muhammad saw. bertugas menata kembali unsur-unsur budaya yang telah ada dan meletakkan unsur-unsur baru yang akan menjadi dasar bagi perkembangan budaya berikutnya. Karena beliau diutus untuk seluruh umat manusia (baca QS. Saba' 34: 28), maka tugas ini tidak hanya tertuju pada bangsa Arab, melainkan pada seluruh umat manusia.
Bentuk pendidikan yang pertama-tama dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., adalah menanamkan dasar-dasar kepercayaan Islam, tauhid, atau meluruskan akidah. Yakni dari paganisme (penyembahan terhadap berhala yang merupakan tradisi ritual masyarakat di saat itu) menuju akidah monoteisme (penyembahan terhadap Allah, Tuhan Yang Mahaesa), serta mengajarkan al-Qur'an. Abdurrahman Mas'ud lebih menyebut pendidikan, yang dikenal dalam sejarah sebagai periode Mekkah ini, sebagai pendidikan yang fleksibel. Artinya segala usaha dalam rangka mengembangkan mental, intelektual ataupun moral, yang bertujuan untuk meraih perbaikan atau peningkatan relegius.[8]

2.      PENDIDIKAN ABAD PERTENGAHAN
Masa ini terentang sejak hancurnya kota Bagdad pada tahun 1258 M hingga pertengahan abad ke - 18 M.pada masa kini umat Islam khususnya di wilayah jazirah Arab yang mengalami 3 fase yang dengan berdirinya kesultanan - kesultanan besar Islam dan terakhir fase kemunduran kesultanan besar pada masa ini, Eropa Kristen Andaluasia (Spanyol), bahkan mereka berhasil melampaui pencapaian kaum muslimin .
Puncak kejayaan umat Islam terjadi di masa khalifah Abdurahman ad Dakhil (756 - 785 M) dan Khalifah Harun ar rasyid (786 - 809).Pada masa itu hanya ada dua negara superpower, yaitu barat yang berkedudukan di Cordova dan timur berkedudukan di Bagdad .Keduanya sama-sama negara pengetahuan, umat islam pernah berjaya selama kurang lebih 7 abad ( antara abad VII s.d XIII ). Kejayaan tersebut menumbuhkan pusat-pusat keunggulan, baik di bidang pendidikan, peribadatan, perekonomian, pertanian, pertanian, kedokteran, dan lain-lain.
Tradisi intelektual yang dibangun pada masa klasik di masa Rasulullah Muhammad Saw, telah begitu menentukan bentuk dan corak pemikiran Islam sehingga apa yang berkembang pada abad pertengahan lebih bersifat konservatif. Jika pada abad-abad sebelumnya bisa dirasakan pesatnya perkembangan pendidikan Islam yang ditandai dengan semangat mengkritik, polemik dalam bentuk karya tulis, munazarah dan pengajaran di madrasah, halqah di masjid-masjid dan perpustakaan, maka pada abad pertengahan ini mengalami kebekuan dan konservatisme dalam sistem pendidikan. Sehingga masa ini dikenal dengan masa taqlid, karena kegairahan berijtihad telah punah.
Meskipun demikian, sebenarnya banyak sarjana-sarjana dan ulama yang sesungguhnya melahirkan karya baru yang penting, sekalipun mereka kadang-kadang kurang menonjol. Sarjana-sarjana tersebut seringkali mengembangkan kreativitasnya mereka di lingkungan istana-istana raja dan amir sehingga didukung sepenuhnya oleh penguasa. Maka disinilah lahir kegiatan budaya baru yang bisa dikatakan sebagai penyelamat dunia Islam dari kemandekan total dalam bidang budaya dan intelektual.
Aktivitas ini baru berkembang pesat pada abad pertengahan dimana telah dikenal adanya lembaga pengajaran berupa Madrasah, yang mana tempat melakukan kegiatan belajar dengan bimbingan instruktur atau mudarris yakni seorang yang bergelar professor (guru besar). Perkembangan pesar dalam bidang pendidikan inilah kemudian melahirkan ulama-ulama besar dengan penguasaan ilmu pengetahuan, sains, kedokteran dan tokoh filusuf terkenal dengan tidak meninggalkan sisi keulamaan mereka.
Tujuan utama dari seluruh bentuk pendidikan Islam ini adalah untuk mewariskan khazanah budaya dari satu generasi ke generasi beriktunya dengan harapan generasi tersebut akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya baik secara moral maupun secara intelektual.[9]

Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
1.      Dinamika Intelektual
            Perkembangan intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya jaringan keilmuan yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama yaitu al Qur’an dan al Hadist, dan semuanya itu tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban lainnya seperti Yunani, India dan Mesir. Dinamika intelektual setidaknya dapat dipahami dari periodesasi pemerintahan abbasiyah sehingga akan terlihat jelas kontinuitas keintelektualannya. Sehingga meskipun intensitas politiknya sangat tinggi, namun kajian-kajian ilmiah tetap stabil.
            Adapun tokoh-tokoh intelektual yang bermunculan pada masa Bani Abbasiyah diantaranya adalah:[10]
No
Bidang
Tokoh
Keterangan
1
sejarah
al Mas’udi

2
Filsafat
a. al Kindi
b. ar Razi
c. al Farabi
d. Ibnu Sina
e. Ibu Rusyd

3
Kedokteran
a. Ibnu Sina
b. Ikhwanus Shafa’
c. Muhammad bin Zakaria ar Razi
d. Ali bin Abbas al Majusi

4
Sastra
a. Mutanabii
b. Abul A’la
c. Shabi
d. Ahahib Ibnu Ubbad
e. Badi’uz zaman
f. Ibnul Amied

5
Hukum dan politik
Imam mawardi
penulis al Ahkam al Sulthaniyah
6
Tafsir
a. At Tabari
b.  Az Zamakhsari

7
Hadist
a.  Bukhari
b. Muslim

8
Sastra dan Sejarah
a. Muhammad bin Ishaq
b.  Ibn Hisyam
c.  Ibn Sa’ad
d.  Abu Raihan al Biruni

9
Tasawuf
a.    Qusyairi
b.   Al Ghazali
c.    Syahabudin
d.   Dzun Nun al Misri

10
Fiqh
a.    Abu Hanifah
b.   Malik bin Anas
c.    Syafii
d.   Ahmad bin Hambal

11
Sains
a.    al Khawarizmi
b.   al Farazi
c.    al Haytami
d.   Jabir bin Hayyan
ahli matematika
ahli astronomi
ali optic
ahli kimia
12
Teologi
a.Abu Huzail al Allaf&Al Nazzam
b. Abu musa al As’ari
Mu’tazilah
Asy’ariyah

Adanya tokoh-tokoh intelektual di atas secara tidak langsung membuktikan adanya dinamika intelektual yang terjadi masa itu yang sekaligus menjadi bukti kongkret adanya kemajuan Islam yang identik dengan The Golden Age nya.
2.    Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Abbasiyah
a) Tujuan pendidikan
           Pada masa nabi Muhammad SAW, masa khalifah rasyidin dan Muawiyah, tujuan pendidikan hanya satu, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah serta mengharapkan keridhaannya.
           Sedangkan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Adapun tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:[11]
1)   Tujuan keagamaan dan akhlak
2)   Tujuan kemasyarakatan
3)   Cinta akan ilmu pengetahuan
4)   Tujuan kebendaan
           Keterangan ini, sebagaimana seorang ulama An namiry al Quthubi yang hidup di tahun 463 H menyatakan bahwa tuntutlah ilmu, karena ilmu itu menjadi penolong dalam agama, menajamkan otak, teman ketika sendirian, berfaedah dalam majlis-majlis dan menarik harta benda.[12]
b)     Materi pendidikan
           Sebelum membahas materi pendidikan, perlu diketahui bahwa tingkat pengajaran kepada peserta didik tergantung tingkatanya, yaitu:
1)   Tinkat sekolah rendah (kuttab), tempat belajarnya di kuttab, rumah, istana, toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
2)   Tingkat sekolah menengah, tempat belajarnya di masjid, majelis sastra dan ilmu pengetahuan.
3)   Tingka perguruan tinggi, tempat belajarnya di Baitul Hikmah dan Darul ilmu di Mesir, masjid dll.[13]
           Untuk peserta didik tingkat rendah disediakan materi ijbari dan materi ikhtiari. Adapun materi ijbari adalah: al Qur’an, shalat, doa, sedikit ilmu nahwu dan bahasa Arab, membaca dan menulis. Sedangkan materi yang Ikhtiari adalah: berhitung, semua ilmu nahwu dan bahasa Arab, syair-syair dan tarikh Arab.[14]
           Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, materi tingkat rendah sedikit berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Qur’an, syair dan fiqh.[15]
  Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang belajar di kuttab. Para murid yang memasuki lembaga pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki kuttab berumur lima tahun ada pula yang tujuh tahun bahkan ada yang sepuluh tahun. Nampaknya hal ini karena kesiapan peserta didik, baik fisik, mental ataupun dari segi ekonomi.[16]
           Setelah usai menempuh pendidikan tingkat rendah, murid bebas memilih bidang studi yang ingin ia dalami di tingkat selanjutnya, umumnya rencana pengajaran itu adalah: al Quran, bahasa Arab dan kesusasteraannya, Fiqh, Tafsir, Hadist, Nahwu/saraf/Balaghah, ilmu-ilmu pasti, Mantiq, Falak, Tarikh, ilmu-ilmu alam, kedokteran dan musik. [17]
           Disamping itu semua, ada mata pelajaran yang bersifat kejuruan, misalnya untuk menjadi juru tulis di kantor-kanntor. Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.[18]
           Selanjutnya pada tingkat tinggi untuk materi pelajarannya tidak sama diseluruh negara Islam. Umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan, yaitu:
1)   Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusteraanya (ilmu naqliyah). Materinya adalah tafsir al Quran, hadist, fiqh dan usul fiqh, nahwu/saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusteraanya. Saat itu belum ada spesialisasi dalam satu materi pelajaran seperti sekarang ini, spesialisasi itu lahir kemudian sesudah para peserta didik selesai dari perguruan tinggi.
2)   Jurusan ilmu-ilmu hikmah (ilmu-ilmu aqliah). Materinya adalah: mantik, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, kedokteran.[19]
c)  Pendidik
            Dilihat dari segi sosial ataupun penghasilan, pendidik dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1)      Para muallim kuttab
Guru model ini memiliki status sosial yang rendah karena kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot.
2)      Para muaddib
Guru ini mempunyai status social yang tinggi, karena syarat untuk menjadi muaddib sangat sulit, diantaranya: alim, berakhlak mulia dan dikenal masyarakat.
3)      Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan disekolah-sekolah.
Guru ini beruntung karena mendapat penghormatan dari masyarakat karena penguasaan ilmu pengetahuan yang mendalam.[20]
d)   Peserta didik
Peserta didik pada masa keemasan Islam mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ulama, hartawan dan pemerintah. Pemerintah member keluasan dalam belajar. Mereka tidak diperkenankan untuk membedakan tingkat social dalam proses pendidikan. Mereka harus berkumpul dalam tempat yang sama dan memperoleh pendidikan yang sama pula. [21]
Murid yang telah menamatkan tingkat dasar ini bisa langsung masuk ke sekolah tinggi tanpa masuk ke sekolah menengah. Bahkan kadang-kadang ada yang masuk sekolah tinggi sebelum menamatkan sekolah dasar. Dan murid bebas memilih guru yang mereka anggap paling baik, mereka bebas pindah dari satu guru ke guru lain.[22]
Karena bebas memilih guru dan berganti-ganti, peserta didik di zaman tersebut biasanya membuat mu’jam al-Masyakha yang mengajar. Dafar ini sebagai bukti bahwa mereka telah belajar kepada guru-guru yang terkenal, karena murid zaman dulu tidak puas berguru pada satu guru selain itu juga untuk mengetahui kualitas hadist yang mereka terima.
e)   Metode pengajaran
           Pada masa dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:[23]
1)      Metode lisan (dikte, ceramah, qiraah dan diskusi)
Metode dikte adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
Metode ceramah adalah guru menjelaskan dan murid mendengarkan.
Metode qiraah  biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
2)      Metode menghafal (ciri umum pendidikan pada masa ini)
Murid-murd harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka.
3)      Metode tulisan (pengkopian karya ulama)
Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.
f)       Rihlah ilmiyah
Yaitu suatu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Dengan adanya rihlah ilmia pendidikan Islam pada masa itu tidak hanya dibatasi dengan dinding kelas (school without wall). Sistem ini mempunyai pengaruh yaitu pertukaran pemikiran sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.[24]
g)      Sumber pembiayaan
           Pada masa bani Abbasiyah, sumber pembiayaan pendidikan antara lain:
1) Subsidi pemerintah
Para penguasa dan pimpinan muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya.
Masjid jami’[25] yang banyak bermuncluan di masa disnati Abbasiyah dibiayi keberadaan dan operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya.[26]
Selain itu, madrasah-madrasah yang brdiri pada masa Turki Saljuk dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara.  Diantaranya, memberikan beasiswa murid pensiun dan ransum kepada murid yang patut menerimanya.[27]
2) Wakaf
Lembaga wakaf menjadi sumber pembiayaan kegiatan pendidikan  saat itu. Sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh system ekonomi Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat Islam, serta adanya keseimbangan antara ekonomi dan kemaslahatan masyarakat.
Dengan dipelopori oleh penguasa Islam yang cinta ilmu, seperti Harun ar Rasyid dan al Ma’mun, berdirilah lembaga-lembaga pendidikan keilmuan, seperti kegiatan penerjemahan, yang di zaman al Ma’mun kegiatannya lebih sempurna sehingga berdirilah Baitul Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya, kebutuhan untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan maka lahirlah ide tentang perlunya lembaga wakaf yang akan menjadi sumber keuangan.[28]
Menurut Syalabi, bahwa khalifah al Ma’mun adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi Negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama Negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan. [29]
3) Orang tua
Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi financial orang tua murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan murid. Sebab, di samping biaya pendaftran biaya tambahan akan diambil ketika murid telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai keadaan keluarga murid.[30]
Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi harus dilakukan dengan ikhlas.[31]
4) Murid
Seorang ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah atau lembaga pendidikan lainnya diperbolehkan memungut biaya dari muridnya, biasanya jumlah disepakati antara murid dan guru.
para penuntut ilmu yang barasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja di tengah-tengah masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Ada juga pelajar yng tidak tetap.[32] yang terdiri dari para pekerja.[33]
5) Sumber lain
Pandangan bahwa ilmu agama, terutama al Quran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapapun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri di luar pekerjaan mengajar.[34]
Selain para pengajar juga ada dari kesadaran para hartawan dan dermawan untuk membiayai pendidikan, seperti misalnya meeka membangun kuttab lalu menggaji para guru-gurunya dengan uang mereka sendiri.[35]
h)     Berkembangnya lembaga-lembaga Pendidikan Islam
           Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat non formal. Diantara lain:
1)   Kuttab
Kuttab adalah tempat memberi pelajaran dasar pada anak-anak, menurut Muniruddin Ahmed semua tempat-tempat belajar untuk anak-anak disebut kuttab.[36] Ahmad Salabi menjelaskan kuttab dibagi menjadi 2:
a.  Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
b.  Kuttab untuk belajar al Quran dan pokok-pokok agama Islam.[37]
2)   Pendidikan rendah istana-istana
Pendidikan permulaan diistana para khalifah dan pembesar, dimana putera-putera mereka mereka mendapat pendidikan, hal ini untuk menyiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dipikulkan keatas pundaknya dimasa depan.
Pendidikan yang semacam ini lebih luas dari pada pendidikan di kuttab, disini ada andil orang tua untuk menentukan mata pelajaran yang akan diajarkan.[38]
3)   Kedai-kedai saudagar kitab
Kedai-kedai ini awalnya dibuka untuk urusan perniagaan, namun pada akhirnya kedai ini dikunjungi para cendekiawan dan ahli-ahli sastra, dan mereka menjadikanya sebagai tempat untuk mengadakan diskusi dan sidang-sidang pembahasan keilmuwan.
Model yang seperti ini sudah lahir sejak awalnya kerajaan bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat pesatnya diseluruh ibukota dan berbagai negara Islam.[39]
4)   Rumah-rumah para ulama
Walaupun sebenarnya, rumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan  ilmu pengetahuan. Hal ini pada umumnya disebabkan karena ulama dan ahli yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan daripadanya.
Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, al Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis dan lain-lainnya.[40]
5)   Salon-salon kesusasteraan
Salon kesusasteraan adalah suatu majlis khusu yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafa al Rasyidin, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pertama saat itu adalah di masjid. Setelah masa bani Umayyah tempat majlis dipindahkan ke istana-istana, dan orang yang berhak menghadirinya hanyalah orang-orang tertentu yang diundang oleh khalifah.[41]
6)   Rumah sakit
Dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu farmasi.
Rumah sakit itu juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[42]

7)   Perpustakaan
Para ulama dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi mereka.
Di samping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan watak dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh khalifah Harun ar Rasyid, merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy.
Perpustakaan- Perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya, dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.[43]
8)   Padang pasir
Diwaktu bahasa Arab telah rusak di kota-kota, akibat dari pergaulan bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain, tetaplah bahasa Arab itu berada dalam kemurniannya di gurun-gurun pasir, kerena gurun-gurun pasir ini terhindar dari bangsa-bangsa asing, dan dari orang-orang yang telah rusak bahasanya.[44]
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa padang pasir negeri Arab di abad I, II dan III H adalah merupakan sekolah-sekolah dizaman sekarang. Sehubungan dengan ini menurut Hitti yang dikutib dari Ahmad Salabi, “padang pasir Suriah merupakan sekolah bagi pangeran-pangeran bani Umayyah.”
Putera-putera yang dikirim ke padang pasir ini, tidak hanya putera dari para chalifah bani Umayyah tapi juga dari chalifah bani Abbasiyah, seperti Mutawakkil putera Harun al Rasyid pernah dikirim ke padang pasir untuk mempelajari bahasa yang murni, fasih dan menanamkan cita rasa dalam seni syair dan kesusteraan.[45]
9)   Masjid
Masjid merupakan lembaga pendidikan sejak zaman nabi Muhammad, ia berfungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan, pengadilan dan sebagainya.
Pada masa bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh penguasa pada umumnya dilengkapi fasilitas untuk pendidikan, yaitu tempat-tempat untuk pendidikan dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), ruang diskusi dan munazarah serta perpustakaan.[46]
Tahap perkembangan masjid sebagai lembaga pendidikan, yaitu:
1.      Tahap masjid
Ini berlangsung terutama pada abad kedelapan dan kesembilan masehi, masjid yang dimaksudkan sebagai tempat pendidikan adalah masjid biasa (masjid college) yang di samping untuk tempat jama’ah dan shalat, juga untuk majlis taklim. Para penguasa Baghdad seperti Adud Daulah (965), al Sahib Abbas (955) dan Di’il al Sijistani (965) merupakan pelopor yang mendukung perkembangan masjid untuk pendidikan ini.[47]
2.      Tahap masjid Khan
Yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan Khan (asrama dan pondokan) yang masih bergandengan dengan masjid. Masjid Khan memberikan tempat penginapan yang cukup representative bagi pelajar datang dari berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10.
Dikutib dari Dr. H. Maksum yang di ambil dari bukunya Dr. Armai Arif, pada masa awal pemerintahan Badr Hasmawaih al Kindi (1015) yang menjadi gubernur di beberapa wilayah di bawah kekuasaan asus al Daulah mendirikan sekitar 3.000 masjid Khan. [48]











BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas peneliti mendapatkan gambaran bahwasanya pendidikan disetiap periode itu mempunyai karakteristik dan keunikan masing-masing. Yang menjadikan berbeda dengan periode dengan masa yang lain.
Karakteristik dan keunikan tersebut menurut analisa peneliti disebabkan oleh tipologi dan kebutuhan masyarakat pada masa-nya itu, tentu pada zaman pra islam akan berbeda dengan zaman dimana islam datang pertama kali, demikian pula akan berbeda dengan di masa islam berkembang pesat sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin lama semakin kompleks.
Pada zaman sebelum datangnya islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, pendidikan zaman islam terdahulu menitik beratkan pada pendidikan Aqidah dan Tauhid. Mengedepankan penanaman iman yang kuat terhadap umat, tentang ke-Esa-an Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan satu-satunya Tuhan yang pada_Nya lah tempat bergantung semua harapan.
Sedangkan pendidikan pada zaman Nabi muhammad Saw dan periode kulafaurrosidin lebih maju, meliputi bukan saja Aqidah, Tauhid, tapi juga telah melebar ke sistem pemerintahan, sistem pertahanan, sistem perpajakan dan lain sebagainya. Disini dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan di periode ini lebih sedikit berkembang dibanding pada periode pra Islam yang dibawa Nabi muhammad.
Demikian hal nya dengan sistem pendidikan dimasa abad pertengahan yang ditandai oleh bani Abbasiyah, telah mengalami banyak sekali perkembangan bukan hanya menitik beratkan pada pendidikan Aqidah dan tauhid saja, akan tetapi pendidikan islam pada periode ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesatdan masjid sebagai pusat pendidikan juga madrasah-madrasah, ditandai dengan lahirnya para ilmuan-ilmuan dan filosof yang sampai sekarang masih menjadi rujukan berfikir, antara lain al kindi, al farabi, ibnu sina, ibnu rusyd, dan masih banyak lagi.
Perkembangan pendidikan islam pada abad pertengahan mencakup banyak aspek antara lain tentangagama,  filsafat, budaya, politik, hukum, humaniora. Yang secara pesat berkembang hingga sampai sekarang menjadi baro meter dan rujukan membangun peradaban modern.
Dengan didirikannya baitul hikmah, sebuah perpistakaan yang sangat terkenel, menjadi terminal distribusi ilmu pengetahuan. Pada abad ini pula terjadi penerjemahan besar-besaran buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab dan bahasa parsi.
Menurut prof. Dr. Abdurrahman Assegaf seorang ilmuan dari UIN Sunan kalijaga yogyakarta dalambukunya yang berjudul pendidikan hadhari berbasis integratif interkonektif, mengatakan konsep pendidikan pada zaman abad pertengaha yang mencapai puncak kejayaan peradaban islam, mengunakan sistem pendidikan yang bersifat integratif interkonektif. Integratif bermakna mengabungkan antara disiplin ilmu agama, filsafat dan science, dan interkonektif bermakna menghubungkan antara ilmu agama, filsafat dan science.
Dimana menurut abdurrahman assegaf agama menentukan tujuan dari pendidikan, filsafat menentukan konsep pendidikan, dan science menentukan materi. Menurut peneliti ini merupakan sebuah konsep yang sangat ideal dan progresif, dimana manusia bisa mengaplikasikan dirinya dengan tuntunan agama, melalui proses berfikir filosofis dengan pendekatan science.

Wallahu a’lam bisowaf



DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Natta, Manajemen Pendidikan Cet. Ke 3, Kencana Prenada Media Group:Jakarta, 2008.
____________, Metodologi Studi Islam, jakarta: PT. Raja grafindo persada, 2003.
____________, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta: Gema Media, 2002.
Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung: Angkasa, 2004.
Burlian Somad , Beberapa Persoalan Dalam Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’arif, 1981.
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos, 1994.
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana iImu, 1999.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989.
Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Zuhairini, dkk. Sejarah pendidikan Islam, jakarta: Bumi Aksara. 2010.


[1] Prof. Dr Abuddin Natta, Manajemen Pendidikan Cet. Ke 3, Kencana Prenada Media Group:Jakarta, 2008,hlm. 173.
[2] Drs. Burlian Somad , Beberapa Persoalan Dalam Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’arif, 1981. hlm. 21.
[3] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (jakarta: PT. Raja grafindod persada, 2003), hlm. 291.
[5] Kisah selengkapnya, antara lain dapat dibaca QS. al-Baqarah 2: 31-33, al-Isrâ' 17: 61, Thâhâ 20: 116-121, al-Kahfi 18: 50, al A'râf  7:  11-13, dan al-Hijr 15: 28-33
[6] Zuhairini, dkk. Sejarah pendidikan Islam, ( jakarta: Bumi Aksara. 2010). Hlm. 12
[7] Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 1-2. Pendidikan sederhana tersebut, tulis Harun , telah melahirkan ilmu yang sederhana pula, atau yang lebih tepat disebut pengetahuan, seperti pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya, tentang binatang-binatang, tentang pertukaran udara, tentang silsilah dan kejadian-kejadian dalam sejarah Arab pada masa lampau. Dan karena puisi (syair) mendapatkan dominasi dalam pengkajian, maka keunggulan mereka dalam bidang ini diakui. Pengetahuan tersebut terutama bahasa Arab (nya), pada masa-masa berikutnya turut mempengaruhi perkembangan ilmu dalam Islam. Lihat Harun  Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 305
[8] Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gema Media, 2002), hlm. 67
[10] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 57-58
[11] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), hlm. 46-47
[12] Ibid, hlm. 47-48
[13] Ibid, hlm. 48
[14] Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 15
[15] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana iImu, 1999), hlm. 73
[16] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 132
[17] Op, cit, hlm. 55
[18] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 103
[19] Op,it, hlm. 57-58
[20] Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 207
[21] Abuddin Nata, Loc, it, hlm. 254-255
[22] Hanun Asrohah, Loc, it, hlm. 83
[23] Suwito, Op, cit, hlm. 14
[24] Op, cit, hlm. 89
[25] Pada masa Islam klasik dikenal 2 tipe masjid, yaitu masjid Jami’ dan masjid local. Masjid Jami’ umumnya adalah bangunan besar yang dihiasi dengan indah melalui biaya negaa dan berfungsi sebagai tempat diumumkannya berbagai hal tentang negara dan agama pada masyarakat. Masjid local biasanya lebih kecil, dibangun untuk kebutuhan kelompok masyarakat.
[26] Abuddin Nata, Loc, it, hlm. 218-219
[27] Ibid, hlm. 219
[28] Op, cit, hlm. 90
[29] Ibid, hlm. 90
[30] Abuddin Nata, Op, cit, hlm. 222
[31] Ibid, hlm. 222
[32] Dikutib oleh Abuddin Nata dari Munirul Ahmed, membagi pelajar menjadi 2 kelompok, yaitu pelajar tetap dan pelajar tidak tetap. Pelajar tetap adalah orang yang mempunyai tujuan utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk ilmu. Pelajar tidak tetap merupakan orang yang mengikuti pelajaran hanya pada waktu-waktu tertentu, biasanya untuk menunjang profesi mereka.
[33]  Ibid, hlm. 224
[34]  Ibid, hlm. 224-225
[35] Ibid, hlm. 225
[36] Dikutib dari bukunya Hanun Asohah, Ibid, hlm. 48
[37] Ahmad Salabi, Op, cit, hlm. 33-38
[38] Ibid, hlm. 48-50
[39] Ibid, hlm. 53
[40] Zuhairini, Loc, it, hlm. 95
[41] Ibid, hlm. 80
[42] Ibid, hlm. 97-98
[43] Ibid, hlm. 99
[44] Ahmad Salabi, Loc, it, hlm. 89
[45]  Ibid, hlm. 80
[46] Op, cit, hlm. 99
[47] Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik (Bandung: Angkasa, 2004), hlm. 58-59
[48]  Ibid, hlm. 59