ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM PERIODE PRA
KLASIK
DAN PERIODE PERTENGAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan Islam dapat diartikan
sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam sebagai mana
yang tercantum dalam al-qur’an dan al-hadits serta dalam pemikiran para ulama
dalam peraktek sejarah umat islam.[1] Sedangkan Burlian somad mengungkapkan bahwa. Pendidikan Islam adalah
pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak
diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah
mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Allah.[2]
Menganalisis tentang pendidikan islam pra klasik tentunya pola pikir kita
akan mengarah kepada pola pendidikan sebelum datangnya islam. Yang sesungguhnya
ada merupakan pendidikan pada jaman Nabi-nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad
Saw, yang dimulai dari Nabi Adam As.
Pendidian Islam yaitu proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang
bersumber dan berpedomankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Quran
dan terjabar dalam sunnah Rosul.[3] Oleh karena itu, Sejarah Pendidikan Islam dimulai sejak sebelum diutusnya
nabi Muhammad SAW ke dunia, yakni sejak nabi Adam pun
Pendidikan Islam telah ada, akan tetapi banyak para
sejarawan seperti Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam dimulai sejak diutusnya nabi Muhammad SAW ke dunia dengan membawa
ajaran Islam , kedua pendapat ini tidak salah akan
tetapi penulis lebih sependapat bahwa pendidikan Islam dimulai sejak nabi Adam diturunkan kebumi, karena pesan substansial
yang disampaikan oleh pendidikan Islam adalah
nilai-nilai ke—Tauhidan, dan semenjak nabi Adam telah disampaikan nilai –nilai ketauhidan kepada Manusia, hanya saja pada saat itu Islam
belum diverbalkan sehingga ini yang menjadi pemicu
perbedaan tersebut. ,seperti di dalam alqura’an surat Al-baqoroh ayat 30-38.[4]
Peneliti menyajikan tentang pendidikan
islam pra kasik , dengan argumentasi bahwa pola pendidikan
sebelum datangnya islam, akan tetapi pola pendidikan tersebut di abadikan dalam
Al Quran dan tentunya telah di insyafi bahwa Al Quran itu sumber dari ajaran
Islam. Maka kami menyebutnya pendidikan Islam pra klasik, sedangkan telah
dipahami secara umum bahwa islam itu turun kepada nabi Muhammad Saw, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan islam itu dimulai dari masa Nabi Muhammad Saw.
Walaupun nilai-nilai pendidikan itu didapat dari tauladan nabi sebelumnya yang
telah diabadikan dalam Al Quran.
Kami juga akan menyajikan tentang pola pendidikan pada abad pertengahan.
Dimana pada abad pertengahan sebagaimana telah dicatat oleh sejarah bahwa
puncak kejayaan peradaban islam terjadi pada abad tersebut.
Sudah barang tentu kemajuan dan perkembangan sejarah suatu peradaban tidak
mungkin bisa lepas dari peran pendidikan, tentu kemajuan peradaban tersebut
didukung oleh kemajuan-kemajuan disektor lain, misalnya ekonomi, polotik budaya
dan masik banyak sector yang mendukung kemajuan suatu peradaban.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas peneliti akan
merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam bab-bab selanjunya, rumusan masalahnya adalah sebahai berikut:
1. Pola Pendidikan Islam Periode Pra Klasik
2. Pola Pendidikan Islam Periode Pertengahan
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut
diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui tujuan pendidikan Islam Periode Pra Klasik
2. Mengetahui tujuan pendidikan Islam Periode Pertengahan
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENDIDIKAN ISLAM PRA KLASIK
Sejarah pendidikan manusia adalah
sepanjang sejarah kehidupannya. Sejarah ini dimulai sejak kemunculan manusia, sekaligus
Rasul Allah--pertama, Âdam as., di surga. Di sana Allah mengajari Âdam as.
seluruh nama benda (barang), sebagai bentuk pendidikan. Hal mana, pada
gilirannya itu menjadi bekal ketika Allah menunjuknya sebagai khalifah (wakil)
di bumi. Sejak itu --dan juga sebab itu-- Allah melebihkan derajat manusia di
atas para malaikat bahkan semua makhluk. Dan karena itu Allah memerintahkan
para malaikat dan iblis untuk bersujud (hormat) kepada Âdam as.[5]
Alqura’an surat Al-baqoroh ayat (30). “Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(31). dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". (32). mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(31). dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". (32). mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Nilai-nilai pendidikan pada masa nabi adam antara lain
yaitu di antaranya Bahawasanya hikmah yang terkandung dalam perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan dalam apa yang
diciptakannya kadangkala tidak atau belum dapat
dicapai oleh otak manusia bahkan oleh makhluk-Nya yang terdekat sebagaimana telah dialami oleh para malaikat tatkala diberitahu bahawa
Allah akan menciptakan manusia - keturunan Adam untuk
menjadi khalifah-Nya di bumi sehingga mereka seakan-akan berkeberatan dan bertanya-tanya mengapa dan untuk apa Allah menciptakan
jenis makhluk lain daripada mereka yang sudah patuh
rajin beribadat, bertasbih, bertahmid dan mengagungkan nama-Nya.
Bahawasanya manusia walaupun ia telah dikurniakan
kecerdasan berfikir dan kekuatan fizikal dan mental ia
tetap mempunyai beberapa kelemahan pada dirinya seperti sifat lalai, lupa dan khilaf.Hal mana telah terjadi pada diri Nabi Adam yang
walaupun ia telah menjadi manusia yang sempurna dan
dikurniakan kedudukan yang istimewa di syurga ia tetap tidak terhindar dari sifat-sifat manusia yang lemah itu.Ia telah lupa dan
melalaikan peringatan Allah kepadanya tentang pohon
terlarang dan tentang Iblis yang menjadi musuhnya dan musuh seluruh keturunannya, sehingga terperangkap ke dalam tipu daya dan
terjadilah pelanggaran pertama yang dilakukan oleh
manusia terhadap larangan Allah.
Bahawasanya seseorang yang telah terlanjur melakukan
maksiat dan berbuat dosa tidaklah ia sepatutnya
berputus asa dari rahmat dan ampunan Tuhan asalkan ia sedar akan kesalahannya dan bertaubat tidak akan melakukannya kembali.Rahmat
allah dan maghfirah-Nya dpt mencakup segala dosa yang
diperbuat oleh hamba-Nya kecuali syirik bagaimana pun besar dosa
itu asalkan diikuti dengan kesedaran bertaubat dan pengakuan kesalahan.
Sifat sombong dan congkak selalu membawa akibat
kerugian dan kebinasaan.Lihatlah Iblis yang turun dari
singgahsananya dilucutkan kedudukannya sebagai seorang malaikat dan diusir oleh
Allah dari syurga dengan disertai kutukan dan laknat
yang akan melekat kepada dirinya hingga hari Kiamat
karena kesombongannya dan kebanggaaannya dengan asal-usulnya sehingga ia menganggap dan memandang rendah kepada Nabi Adam dan menolak
untuk sujud menghormatinya walaupun diperintahkan oleh
Allah Swt.
Namun demikian, telah diketahui bahwa Allah menurunkan
ajaran Islam kepada umat manusia tersebut melalui proses yang panjang, melalui
serangkaian urutan Rasul-rasul. Seorang Rasul diutus oleh Allah pada hakikatnya
adalah menyempurnakan dan meluruskan kembali ajaran Islam yang telah
diselewengkan atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan perkembangan budaya
manusia. Seorang rasul yang diutus kemudian, berfungsi menyempurnakan dan
meluruskan ajaran islam yang dibawa oleh rasul sebelumnya.[6]
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa Pendidikan Islam
yang berlangsung mulai dari nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad di utus kebumi dan
memilki orientasi penanaman nilai—nilai ketauhidan,
seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa
AS, Nabi Nuh AS, Nabi Isa AS dan para Nabi yang lain, akan tetapi pada masa
mereka Pendidikan Islam hanya di sampaikan kepada Umat
beliau saja, dan ini sesuai dengan peran mereka, beda
halnya dengan pada Masa Nabi Muhammad Pendidikan Islam disampaikan kepada semua Umat, hal ini senada dengan Firman Allah “Inna Arsalnaka
Illa Rahmatan Lil Alamin”.
Sedangkan dari pada
itu. Pada masa sebelumnya (pra-Islam), di negeri Arab., tempat Muhammad
dilahirkan dan dibesarkan telah ada sebuah pendidikan. Pendidikan tersebut
lebih didominasi oleh pengajaran tentang puisi. Kehadiran Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. dan disertai kitab sucitersebut, selanjutnya
menentukan arah pendidikan bagi dunia Arab yang baru, setelah suku-suku dari
gurun dan para pedagang dari desa-desa pantai masuk Islam.[7]
Sebagai konsekuensi, Nabi Muhammad saw. bertugas menata kembali
unsur-unsur budaya yang telah ada dan meletakkan unsur-unsur baru yang akan
menjadi dasar bagi perkembangan budaya berikutnya. Karena beliau diutus untuk
seluruh umat manusia (baca QS. Saba' 34: 28), maka tugas ini tidak hanya
tertuju pada bangsa Arab, melainkan pada seluruh umat manusia.
Bentuk
pendidikan yang pertama-tama dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., adalah
menanamkan dasar-dasar kepercayaan Islam, tauhid, atau meluruskan
akidah. Yakni dari paganisme (penyembahan terhadap berhala yang merupakan
tradisi ritual masyarakat di saat itu) menuju akidah monoteisme (penyembahan
terhadap Allah, Tuhan Yang Mahaesa), serta mengajarkan al-Qur'an. Abdurrahman
Mas'ud lebih menyebut pendidikan, yang dikenal dalam sejarah sebagai periode
Mekkah ini, sebagai pendidikan yang fleksibel. Artinya segala usaha
dalam rangka mengembangkan mental, intelektual ataupun moral, yang bertujuan
untuk meraih perbaikan atau peningkatan relegius.[8]
2. PENDIDIKAN ABAD PERTENGAHAN
Masa ini terentang sejak hancurnya kota Bagdad pada tahun 1258 M hingga
pertengahan abad ke - 18 M.pada masa kini umat Islam khususnya di wilayah
jazirah Arab yang mengalami 3 fase yang dengan berdirinya kesultanan -
kesultanan besar Islam dan terakhir fase kemunduran kesultanan besar pada masa
ini, Eropa Kristen Andaluasia (Spanyol), bahkan mereka berhasil melampaui
pencapaian kaum muslimin .
Puncak kejayaan umat Islam terjadi
di masa khalifah Abdurahman ad Dakhil (756 - 785 M) dan Khalifah Harun ar
rasyid (786 - 809).Pada masa itu hanya ada dua negara superpower, yaitu barat
yang berkedudukan di Cordova dan timur berkedudukan di Bagdad .Keduanya
sama-sama negara pengetahuan, umat islam pernah berjaya selama kurang lebih 7
abad ( antara abad VII s.d XIII ). Kejayaan tersebut menumbuhkan pusat-pusat
keunggulan, baik di bidang pendidikan, peribadatan, perekonomian, pertanian,
pertanian, kedokteran, dan lain-lain.
Tradisi intelektual yang dibangun
pada masa klasik di masa Rasulullah Muhammad Saw, telah begitu menentukan
bentuk dan corak pemikiran Islam sehingga apa yang berkembang pada abad
pertengahan lebih bersifat konservatif. Jika pada abad-abad sebelumnya bisa
dirasakan pesatnya perkembangan pendidikan Islam yang ditandai dengan semangat
mengkritik, polemik dalam bentuk karya tulis, munazarah dan pengajaran di
madrasah, halqah di masjid-masjid dan perpustakaan, maka pada abad pertengahan
ini mengalami kebekuan dan konservatisme dalam sistem pendidikan. Sehingga masa
ini dikenal dengan masa taqlid, karena kegairahan berijtihad telah punah.
Meskipun demikian, sebenarnya banyak
sarjana-sarjana dan ulama yang sesungguhnya melahirkan karya baru yang penting,
sekalipun mereka kadang-kadang kurang menonjol. Sarjana-sarjana tersebut
seringkali mengembangkan kreativitasnya mereka di lingkungan istana-istana raja
dan amir sehingga didukung sepenuhnya oleh penguasa. Maka disinilah lahir
kegiatan budaya baru yang bisa dikatakan sebagai penyelamat dunia Islam dari
kemandekan total dalam bidang budaya dan intelektual.
Aktivitas ini baru berkembang pesat
pada abad pertengahan dimana telah dikenal adanya lembaga pengajaran berupa
Madrasah, yang mana tempat melakukan kegiatan belajar
dengan bimbingan instruktur atau mudarris yakni seorang yang
bergelar professor (guru besar). Perkembangan pesar dalam bidang pendidikan
inilah kemudian melahirkan ulama-ulama besar dengan penguasaan ilmu
pengetahuan, sains, kedokteran dan tokoh filusuf terkenal dengan tidak
meninggalkan sisi keulamaan mereka.
Tujuan utama dari seluruh bentuk
pendidikan Islam ini adalah untuk mewariskan khazanah budaya dari satu generasi
ke generasi beriktunya dengan harapan generasi tersebut akan memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya baik secara moral maupun secara
intelektual.[9]
Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
1. Dinamika Intelektual
Perkembangan intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya
jaringan keilmuan yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama
yaitu al Qur’an dan al Hadist, dan semuanya itu tidak luput dari adanya gesekan
dengan peradaban lainnya seperti Yunani, India dan Mesir. Dinamika intelektual
setidaknya dapat dipahami dari periodesasi pemerintahan abbasiyah sehingga akan
terlihat jelas kontinuitas keintelektualannya. Sehingga meskipun intensitas
politiknya sangat tinggi, namun kajian-kajian ilmiah tetap stabil.
Adapun
tokoh-tokoh intelektual yang bermunculan pada masa Bani Abbasiyah diantaranya adalah:[10]
No
|
Bidang
|
Tokoh
|
Keterangan
|
1
|
sejarah
|
al Mas’udi
|
|
2
|
Filsafat
|
a. al
Kindi
b. ar Razi
c. al
Farabi
d. Ibnu
Sina
e. Ibu
Rusyd
|
|
3
|
Kedokteran
|
a. Ibnu
Sina
b.
Ikhwanus Shafa’
c. Muhammad
bin Zakaria ar Razi
d. Ali bin
Abbas al Majusi
|
|
4
|
Sastra
|
a. Mutanabii
b. Abul
A’la
c. Shabi
d. Ahahib
Ibnu Ubbad
e. Badi’uz
zaman
f. Ibnul
Amied
|
|
5
|
Hukum dan
politik
|
Imam
mawardi
|
penulis al Ahkam al
Sulthaniyah
|
6
|
Tafsir
|
a. At
Tabari
b.
Az Zamakhsari
|
|
7
|
Hadist
|
a.
Bukhari
b. Muslim
|
|
8
|
Sastra dan
Sejarah
|
a. Muhammad bin Ishaq
b. Ibn Hisyam
c. Ibn Sa’ad
d. Abu Raihan
al Biruni
|
|
9
|
Tasawuf
|
a.
Qusyairi
b. Al
Ghazali
c.
Syahabudin
d. Dzun
Nun al Misri
|
|
10
|
Fiqh
|
a.
Abu Hanifah
b.
Malik bin Anas
c.
Syafii
d. Ahmad
bin Hambal
|
|
11
|
Sains
|
a.
al Khawarizmi
b.
al Farazi
c.
al Haytami
d.
Jabir bin Hayyan
|
ahli matematika
ahli astronomi
ali optic
ahli kimia
|
12
|
Teologi
|
a.Abu
Huzail al Allaf&Al Nazzam
b. Abu musa al
As’ari
|
Mu’tazilah
Asy’ariyah
|
Adanya tokoh-tokoh
intelektual di atas secara tidak langsung membuktikan adanya dinamika
intelektual yang terjadi masa itu yang sekaligus menjadi bukti kongkret adanya
kemajuan Islam yang identik dengan The Golden Age nya.
2. Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Abbasiyah
a) Tujuan pendidikan
Pada masa nabi
Muhammad SAW, masa khalifah rasyidin dan Muawiyah, tujuan pendidikan hanya
satu, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah serta
mengharapkan keridhaannya.
Sedangkan pada
masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh
masyarakat pada masa itu. Adapun tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:[11]
1) Tujuan keagamaan dan akhlak
2) Tujuan kemasyarakatan
3) Cinta akan ilmu pengetahuan
4) Tujuan kebendaan
Keterangan
ini, sebagaimana seorang ulama An namiry al Quthubi yang hidup di tahun 463 H
menyatakan bahwa tuntutlah ilmu, karena ilmu itu menjadi penolong dalam agama,
menajamkan otak, teman ketika sendirian, berfaedah dalam majlis-majlis dan
menarik harta benda.[12]
b) Materi pendidikan
Sebelum
membahas materi pendidikan, perlu diketahui bahwa tingkat pengajaran kepada
peserta didik tergantung tingkatanya, yaitu:
1) Tinkat sekolah rendah (kuttab), tempat belajarnya di
kuttab, rumah, istana, toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
2) Tingkat sekolah menengah, tempat belajarnya di masjid,
majelis sastra dan ilmu pengetahuan.
3) Tingka perguruan tinggi, tempat belajarnya di Baitul Hikmah
dan Darul ilmu di Mesir, masjid dll.[13]
Untuk peserta
didik tingkat rendah disediakan materi ijbari dan materi ikhtiari.
Adapun materi ijbari adalah: al Qur’an, shalat, doa, sedikit ilmu nahwu
dan bahasa Arab, membaca dan menulis. Sedangkan materi yang Ikhtiari adalah:
berhitung, semua ilmu nahwu dan bahasa Arab, syair-syair dan tarikh Arab.[14]
Sedangkan
untuk anak-anak amir dan penguasa, materi tingkat rendah sedikit berbeda. Di
istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah,
cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Qur’an,
syair dan fiqh.[15]
Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti
tentang batasan umur bagi seseorang yang belajar di kuttab. Para murid yang
memasuki lembaga pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki
kuttab berumur lima tahun ada pula yang tujuh tahun bahkan ada yang sepuluh
tahun. Nampaknya hal ini karena kesiapan peserta didik, baik fisik, mental
ataupun dari segi ekonomi.[16]
Setelah usai
menempuh pendidikan tingkat rendah, murid bebas memilih bidang studi yang ingin
ia dalami di tingkat selanjutnya, umumnya rencana pengajaran itu adalah: al
Quran, bahasa Arab dan kesusasteraannya, Fiqh, Tafsir, Hadist,
Nahwu/saraf/Balaghah, ilmu-ilmu pasti, Mantiq, Falak, Tarikh, ilmu-ilmu alam,
kedokteran dan musik. [17]
Disamping itu
semua, ada mata pelajaran yang bersifat kejuruan, misalnya untuk menjadi juru
tulis di kantor-kanntor. Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar
surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.[18]
Selanjutnya
pada tingkat tinggi untuk materi pelajarannya tidak sama diseluruh negara
Islam. Umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan, yaitu:
1) Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab
serta kesusteraanya (ilmu naqliyah). Materinya adalah tafsir al Quran, hadist,
fiqh dan usul fiqh, nahwu/saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusteraanya. Saat
itu belum ada spesialisasi dalam satu materi pelajaran seperti sekarang ini,
spesialisasi itu lahir kemudian sesudah para peserta didik selesai dari
perguruan tinggi.
2) Jurusan ilmu-ilmu hikmah (ilmu-ilmu
aqliah). Materinya adalah: mantik, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu
pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan,
kedokteran.[19]
c) Pendidik
Dilihat
dari segi sosial ataupun penghasilan, pendidik dapat digolongkan menjadi 3
bagian, yaitu:
1) Para muallim kuttab
Guru model ini memiliki status sosial yang rendah karena kualitas keilmuan
mereka yang dangkal dan kurang berbobot.
2) Para muaddib
Guru ini mempunyai status social yang tinggi, karena syarat untuk menjadi
muaddib sangat sulit, diantaranya: alim, berakhlak mulia dan dikenal
masyarakat.
3) Para guru yang
memberikan pelajaran di masjid-masjid dan disekolah-sekolah.
Guru ini beruntung karena mendapat penghormatan dari masyarakat karena
penguasaan ilmu pengetahuan yang mendalam.[20]
d) Peserta didik
Peserta didik pada masa keemasan Islam mendapatkan
pelayanan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ulama, hartawan dan
pemerintah. Pemerintah member keluasan dalam belajar. Mereka tidak
diperkenankan untuk membedakan tingkat social dalam proses pendidikan. Mereka
harus berkumpul dalam tempat yang sama dan memperoleh pendidikan yang sama
pula. [21]
Murid yang telah menamatkan tingkat dasar ini bisa
langsung masuk ke sekolah tinggi tanpa masuk ke sekolah menengah. Bahkan kadang-kadang
ada yang masuk sekolah tinggi sebelum menamatkan sekolah dasar. Dan murid bebas
memilih guru yang mereka anggap paling baik, mereka bebas pindah dari satu guru
ke guru lain.[22]
Karena bebas memilih guru dan berganti-ganti, peserta
didik di zaman tersebut biasanya membuat mu’jam al-Masyakha yang
mengajar. Dafar ini sebagai bukti bahwa mereka telah belajar kepada guru-guru
yang terkenal, karena murid zaman dulu tidak puas berguru pada satu guru selain
itu juga untuk mengetahui kualitas hadist yang mereka terima.
e) Metode pengajaran
Pada masa
dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam yaitu:[23]
1) Metode lisan (dikte, ceramah, qiraah
dan diskusi)
Metode dikte adalah metode penyampaian pengetahuan
yang dianggap baik dan aman karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan
yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena
pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
Metode ceramah adalah guru
menjelaskan dan murid mendengarkan.
Metode qiraah biasanya
digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas
pada masa ini.
2) Metode menghafal
(ciri umum pendidikan pada masa ini)
Murid-murd harus membaca secara berulang-ulang
pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka.
3) Metode tulisan (pengkopian karya ulama)
Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama.
Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat
penguasaan ilmu murid semakin meningkat.
f) Rihlah ilmiyah
Yaitu suatu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk
mencari ilmu. Dengan adanya rihlah ilmia pendidikan Islam pada masa itu tidak
hanya dibatasi dengan dinding kelas (school without wall). Sistem ini
mempunyai pengaruh yaitu pertukaran pemikiran sehingga dinamika sosial dan
peradaban Islam terus berkembang.[24]
g) Sumber pembiayaan
Pada masa bani
Abbasiyah, sumber pembiayaan pendidikan antara lain:
1) Subsidi pemerintah
Para penguasa dan pimpinan muslim memiliki perhatian
yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur rasyidin. Mereka
mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan
pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya.
Masjid jami’[25] yang
banyak bermuncluan di masa disnati Abbasiyah dibiayi keberadaan dan
operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya.[26]
Selain itu, madrasah-madrasah yang brdiri pada masa
Turki Saljuk dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara.
Diantaranya, memberikan beasiswa murid pensiun dan ransum kepada murid yang
patut menerimanya.[27]
2) Wakaf
Lembaga wakaf menjadi sumber pembiayaan kegiatan
pendidikan saat itu. Sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh system
ekonomi Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan
syariat Islam, serta adanya keseimbangan antara ekonomi dan kemaslahatan
masyarakat.
Dengan dipelopori oleh penguasa Islam yang cinta ilmu,
seperti Harun ar Rasyid dan al Ma’mun, berdirilah lembaga-lembaga pendidikan
keilmuan, seperti kegiatan penerjemahan, yang di zaman al Ma’mun kegiatannya
lebih sempurna sehingga berdirilah Baitul Hikmah. Pada perkembangan
selanjutnya, kebutuhan untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan maka
lahirlah ide tentang perlunya lembaga wakaf yang akan menjadi sumber keuangan.[28]
Menurut Syalabi, bahwa khalifah al Ma’mun adalah orang
yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia
berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi
Negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan kesadaran
masyarakat untuk bersama-sama Negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan. [29]
3) Orang tua
Biaya pendidikan yang
bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada
kondisi financial orang tua murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan murid.
Sebab, di samping biaya pendaftran biaya tambahan akan diambil ketika murid
telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah
sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai
keadaan keluarga murid.[30]
Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali
sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti
tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi
harus dilakukan dengan ikhlas.[31]
4) Murid
Seorang ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah atau
lembaga pendidikan lainnya diperbolehkan memungut biaya dari muridnya, biasanya
jumlah disepakati antara murid dan guru.
para penuntut ilmu yang barasal dari keluarga tidak
mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja di tengah-tengah
masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Ada juga pelajar yng tidak tetap.[32] yang terdiri dari para pekerja.[33]
5) Sumber lain
Pandangan bahwa ilmu agama, terutama al Quran harus
diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya
tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapapun. Mereka berusaha
untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat
sendiri di luar pekerjaan mengajar.[34]
Selain para pengajar
juga ada dari kesadaran para hartawan dan dermawan untuk membiayai pendidikan,
seperti misalnya meeka membangun kuttab lalu menggaji para guru-gurunya dengan
uang mereka sendiri.[35]
h) Berkembangnya
lembaga-lembaga Pendidikan Islam
Sebelum
timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga
pendidikan yang bersifat non formal. Diantara lain:
1) Kuttab
Kuttab adalah tempat memberi pelajaran dasar pada
anak-anak, menurut Muniruddin Ahmed semua tempat-tempat belajar untuk anak-anak
disebut kuttab.[36]
Ahmad Salabi menjelaskan kuttab dibagi menjadi 2:
a. Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
b. Kuttab untuk belajar al Quran dan
pokok-pokok agama Islam.[37]
2) Pendidikan rendah istana-istana
Pendidikan permulaan diistana para khalifah dan
pembesar, dimana putera-putera mereka mereka mendapat pendidikan, hal ini untuk
menyiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan
dipikulkan keatas pundaknya dimasa depan.
Pendidikan yang semacam ini lebih luas dari pada
pendidikan di kuttab, disini ada andil orang tua untuk menentukan mata
pelajaran yang akan diajarkan.[38]
3) Kedai-kedai saudagar kitab
Kedai-kedai ini awalnya dibuka untuk urusan
perniagaan, namun pada akhirnya kedai ini dikunjungi para cendekiawan dan
ahli-ahli sastra, dan mereka menjadikanya sebagai tempat untuk mengadakan
diskusi dan sidang-sidang pembahasan keilmuwan.
Model yang seperti ini sudah lahir sejak awalnya
kerajaan bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat pesatnya diseluruh ibukota
dan berbagai negara Islam.[39]
4) Rumah-rumah para ulama
Walaupun sebenarnya, rumah bukanlah merupakan tempat
yang baik untuk tempat memberikan pelajaran namun pada zaman kejayaan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, banyak juga rumah-rumah
para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini pada umumnya disebabkan karena
ulama dan ahli yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di
masjid, sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu
pengetahuan daripadanya.
Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat
belajar adalah rumah Ibnu Sina, al Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al Fasihi, Ya’qub
Ibnu Killis dan lain-lainnya.[40]
5) Salon-salon kesusasteraan
Salon kesusasteraan
adalah suatu majlis khusu yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai
ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafa al Rasyidin, yang
biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat
untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan
pertama saat itu adalah di masjid. Setelah masa bani Umayyah tempat majlis
dipindahkan ke istana-istana, dan orang yang berhak menghadirinya hanyalah
orang-orang tertentu yang diundang oleh khalifah.[41]
6) Rumah
sakit
Dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan
umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan
pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi
sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik
tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka
mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu farmasi.
Rumah sakit itu juga merupakan tempat praktikum dari
sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula
sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari rumah sakit.
Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.[42]
7) Perpustakaan
Para ulama dan sarjana dari berbagai macam keahlian,
pada umumnya menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya
untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama
dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk
belajar di perpustakaan pribadi mereka.
Di samping itu berkembang pula
perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau merupakan watak dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di
Baghdad yang didirikan oleh khalifah Harun ar Rasyid, merupakan salah satu
contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam
dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada
masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa Yunani, Persia, India,
Qibty dan Aramy.
Perpustakaan- Perpustakaan dalam dunia Islam pada masa
jayanya, dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai
tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.[43]
8) Padang pasir
Diwaktu bahasa Arab telah rusak di kota-kota, akibat
dari pergaulan bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain, tetaplah bahasa Arab itu
berada dalam kemurniannya di gurun-gurun pasir, kerena gurun-gurun pasir ini
terhindar dari bangsa-bangsa asing, dan dari orang-orang yang telah rusak
bahasanya.[44]
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa padang pasir
negeri Arab di abad I, II dan III H adalah merupakan sekolah-sekolah dizaman
sekarang. Sehubungan dengan ini menurut Hitti yang dikutib dari Ahmad Salabi,
“padang pasir Suriah merupakan sekolah bagi pangeran-pangeran bani Umayyah.”
Putera-putera yang dikirim ke padang pasir ini, tidak
hanya putera dari para chalifah bani Umayyah tapi juga dari chalifah bani
Abbasiyah, seperti Mutawakkil putera Harun al Rasyid pernah dikirim ke padang
pasir untuk mempelajari bahasa yang murni, fasih dan menanamkan cita rasa dalam
seni syair dan kesusteraan.[45]
9) Masjid
Masjid merupakan lembaga pendidikan sejak zaman nabi
Muhammad, ia berfungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan, pengadilan dan
sebagainya.
Pada masa bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan
Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh penguasa pada umumnya dilengkapi
fasilitas untuk pendidikan, yaitu tempat-tempat untuk pendidikan dari
ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), ruang diskusi dan
munazarah serta perpustakaan.[46]
Tahap perkembangan masjid sebagai lembaga pendidikan,
yaitu:
1. Tahap masjid
Ini berlangsung terutama pada abad kedelapan dan
kesembilan masehi, masjid yang dimaksudkan sebagai tempat pendidikan adalah
masjid biasa (masjid college) yang di samping untuk tempat jama’ah dan shalat,
juga untuk majlis taklim. Para penguasa Baghdad seperti Adud Daulah (965), al
Sahib Abbas (955) dan Di’il al Sijistani (965) merupakan pelopor yang mendukung
perkembangan masjid untuk pendidikan ini.[47]
2. Tahap masjid Khan
Yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan Khan
(asrama dan pondokan) yang masih bergandengan dengan masjid. Masjid Khan
memberikan tempat penginapan yang cukup representative bagi pelajar datang dari
berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad
ke-10.
Dikutib dari Dr. H.
Maksum yang di ambil dari bukunya Dr. Armai Arif, pada masa awal pemerintahan
Badr Hasmawaih al Kindi (1015) yang menjadi gubernur di beberapa wilayah di
bawah kekuasaan asus al Daulah mendirikan sekitar 3.000 masjid Khan. [48]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas peneliti mendapatkan gambaran bahwasanya
pendidikan disetiap periode itu mempunyai karakteristik dan keunikan
masing-masing. Yang menjadikan berbeda dengan periode dengan masa yang lain.
Karakteristik dan keunikan tersebut menurut analisa peneliti disebabkan
oleh tipologi dan kebutuhan masyarakat pada masa-nya itu, tentu pada zaman pra islam
akan berbeda dengan zaman dimana islam datang pertama kali, demikian pula akan
berbeda dengan di masa islam berkembang pesat sesuai dengan tuntutan zaman yang
semakin lama semakin kompleks.
Pada zaman sebelum datangnya islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, pendidikan
zaman islam terdahulu menitik beratkan pada pendidikan Aqidah dan Tauhid. Mengedepankan
penanaman iman yang kuat terhadap umat, tentang ke-Esa-an Allah Swt sebagai
satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan satu-satunya Tuhan yang pada_Nya lah
tempat bergantung semua harapan.
Sedangkan
pendidikan pada zaman Nabi muhammad Saw dan periode kulafaurrosidin lebih maju,
meliputi bukan saja Aqidah, Tauhid, tapi juga telah melebar ke sistem
pemerintahan, sistem pertahanan, sistem perpajakan dan lain sebagainya. Disini
dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan di periode ini lebih sedikit
berkembang dibanding pada periode pra Islam yang dibawa Nabi muhammad.
Demikian
hal nya dengan sistem pendidikan dimasa abad pertengahan yang ditandai oleh bani
Abbasiyah, telah mengalami banyak sekali perkembangan bukan hanya menitik
beratkan pada pendidikan Aqidah dan tauhid saja, akan tetapi pendidikan islam
pada periode ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesatdan masjid
sebagai pusat pendidikan juga madrasah-madrasah, ditandai dengan lahirnya para
ilmuan-ilmuan dan filosof yang sampai sekarang masih menjadi rujukan berfikir,
antara lain al kindi, al farabi, ibnu sina, ibnu rusyd, dan masih banyak lagi.
Perkembangan
pendidikan islam pada abad pertengahan mencakup banyak aspek antara lain tentangagama,
filsafat, budaya, politik, hukum,
humaniora. Yang secara pesat berkembang hingga sampai sekarang menjadi baro
meter dan rujukan membangun peradaban modern.
Dengan
didirikannya baitul hikmah, sebuah perpistakaan yang sangat terkenel, menjadi terminal
distribusi ilmu pengetahuan. Pada abad ini pula terjadi penerjemahan besar-besaran
buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab dan bahasa parsi.
Menurut
prof. Dr. Abdurrahman Assegaf seorang ilmuan dari UIN Sunan kalijaga yogyakarta
dalambukunya yang berjudul pendidikan hadhari berbasis integratif interkonektif,
mengatakan konsep pendidikan pada zaman abad pertengaha yang mencapai puncak
kejayaan peradaban islam, mengunakan sistem pendidikan yang bersifat integratif
interkonektif. Integratif bermakna mengabungkan antara disiplin ilmu agama,
filsafat dan science, dan interkonektif bermakna menghubungkan antara ilmu
agama, filsafat dan science.
Dimana
menurut abdurrahman assegaf agama menentukan tujuan dari pendidikan, filsafat
menentukan konsep pendidikan, dan science menentukan materi. Menurut
peneliti ini merupakan sebuah konsep yang sangat ideal dan progresif, dimana
manusia bisa mengaplikasikan dirinya dengan tuntunan agama, melalui proses
berfikir filosofis dengan pendekatan science.
Wallahu a’lam bisowaf
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Natta, Manajemen
Pendidikan Cet. Ke 3, Kencana Prenada Media Group:Jakarta, 2008.
____________, Metodologi Studi Islam, jakarta: PT. Raja grafindo
persada, 2003.
____________, Sejarah Pendidikan
Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Abdurrahman
Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta: Gema
Media, 2002.
Ahmad Salabi, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Armai Arief, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, Bandung: Angkasa, 2004.
Burlian Somad , Beberapa
Persoalan Dalam Pendidikan Islam, PT. Al-Ma’arif, 1981.
Charles Michael
Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari,
Jakarta: Logos, 1994.
Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana iImu, 1999.
M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009.
Mahmud Yunus,
Sejarah Pendidikan Islam Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989.
Suwito dkk, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Zuhairini dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Zuhairini, dkk. Sejarah pendidikan Islam, jakarta: Bumi Aksara. 2010.
[1] Prof. Dr Abuddin Natta,
Manajemen Pendidikan Cet. Ke 3, Kencana Prenada Media Group:Jakarta,
2008,hlm. 173.
[5] Kisah
selengkapnya, antara lain dapat dibaca QS. al-Baqarah 2: 31-33, al-Isrâ' 17:
61, Thâhâ 20: 116-121, al-Kahfi 18: 50, al A'râf 7:
11-13, dan al-Hijr 15: 28-33
[7] Lihat Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,
terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 1-2. Pendidikan
sederhana tersebut, tulis Harun , telah melahirkan ilmu yang sederhana pula,
atau yang lebih tepat disebut pengetahuan, seperti pengetahuan tentang penyakit
dan pengobatannya, tentang binatang-binatang, tentang pertukaran udara, tentang
silsilah dan kejadian-kejadian dalam sejarah Arab pada masa lampau. Dan karena
puisi (syair) mendapatkan dominasi dalam pengkajian, maka keunggulan mereka
dalam bidang ini diakui. Pengetahuan tersebut terutama bahasa Arab (nya), pada
masa-masa berikutnya turut mempengaruhi perkembangan ilmu dalam Islam. Lihat
Harun Nasution, Islam Rasional:
Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 305
[8] Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
(Yogyakarta: Gema Media, 2002), hlm. 67
[10] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009),
hlm. 57-58
[16] Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 132
[25] Pada masa Islam klasik
dikenal 2 tipe masjid, yaitu masjid Jami’ dan masjid local. Masjid Jami’
umumnya adalah bangunan besar yang dihiasi dengan indah melalui biaya negaa dan
berfungsi sebagai tempat diumumkannya berbagai hal tentang negara dan agama
pada masyarakat. Masjid local biasanya lebih kecil, dibangun untuk kebutuhan
kelompok masyarakat.
[32] Dikutib oleh Abuddin
Nata dari Munirul Ahmed, membagi pelajar menjadi 2 kelompok, yaitu pelajar
tetap dan pelajar tidak tetap. Pelajar tetap adalah orang yang mempunyai tujuan
utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk ilmu. Pelajar
tidak tetap merupakan orang yang mengikuti pelajaran hanya pada waktu-waktu
tertentu, biasanya untuk menunjang profesi mereka.
[47] Armai Arief, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik (Bandung:
Angkasa, 2004), hlm. 58-59