Selasa, 12 Februari 2013

TAFSIR SURAT AL BAQARAH AYAT 29


BAB I
PENDAHULUAN

Al-qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril secara berangsur-angsur dan Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang  sangatlah sempurna dimana didalamnya banyak mengandung ajaran serta ilmu-ilmu yang sangatlah kompleks.
Dan diantara objek kajian keilmuan yang terdapat dalam Al-Qu’an yakni adalah meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, karena kitab suci Al-Qur’an dalam berbagai ayatnya mengingatkan kepada manusia agar menggunakan indera dan intelektual kita untuk memperhatikan, merenungkan dan memikirkan tentang ciptaan Allah SWT agar kita mendapatkan ilmu yang benar yang dapat membawa kita semakin dekat dengan Allah SWT.
Maka dari itu dalam makalah ini akan membahas beberapa ayat yang berkenaan dengan materi pendidikan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan diantara ayat tersebut adalah Surat Al-Baqarah ayat 29.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 29
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 29).
Dalam penggalan terjemahan ayat tersebut yang berbunyi “Kemudian Dia berkehendak menuju ke langit”. Kata kemudian dalam ayat ini bukan berarti selang masa tapi dalam arti peringkat, yakni peringkat sesuatu yang disebut sesudahnya yaitu langit dan apa yang ditampungnya lebih agung, lebih besar, indah dan misterius daripada bumi. Maka Dia, yakni Allah menyempurnakan mereka yakni menjadikan tujuh langit dan menetapkan hukum-hukum yang mengatur perjalanannya masing-masing, serta menyiapkan sarana yang sesuai bagi yang berada disana. Itu semua diciptakannya dalam keadaan sempurna dan amat teliti. Dan itu semua mudah bagi-Nya karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.[1]
Yang menarik, setelah Allah mengingatkan asal-usul kejadian manusia yang berasal dari ketiadaan dan kematian, yang berasal dari tanah, tumbuhan, dan hewan, tiba-tiba menyebutkan bahwa semua yang ada di bumi ini (termasuk tanah, tumbuhan, dan hewan), Dia ciptakan untuk manusia. Pesan yang bisa kita tangkap dari peringatan ini ialah bahwa tubuh biologis manusia (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bumi) diciptakan untuk berbakti kepada tubuh ruhaniahnya. Jadi ada sesuatu yang luar biasa pada diri manusia yang justru bukan berasal dari bumi; tetapi untuknyalah bumi dciptakan. Artinya, kalau bukan demi manusia ruhaniah itu, Allah tidak menciptakan bumi ini. Melalui peringatan ini, Allah hendak mengesankan manusia bahwa diri ruhaniahnya itu adalah makhluk yang sangat mulia, yang sedemikian mulianya sehingga nilai kemuliannya melampaui seluruh nilai alam semesta yang material ini.[2]
Pantas juga kalau ketika Allah menawarkan amanah (agama, tugas ilahiah) kepada langit, bumi, dan gunung, semua menolak untuk menerimanya. Karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu. Manusialah yang menerimanya karena hanya manusia sajalah yang memiliki kesanggupan untuk itu. “Sungguh Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan mengemban amanat itu karena khawatir akan mengkhianatinya, sehingga amanat itu (pun) diemban oleh manusia. (Maka) sungguh manusia itu amat zalim dan amat bodoh (jika tidak melaksanakan amanah tersebut).” (33:72) Kendati akan ditunaikan di dunia yang bersifat material, tetapi substansi amanah ini murni bersifat ruhaniah, sehingga hanya makhluk yang memiliki tubuh material dan tubuh ruhaniahlah yang layak mengembannya. Dan itulah manusia. Dan sekaligus penentu mulia tidaknya dia adalah diemban tidaknya amanah ini. Karena apabila dia tidak mengembannya, maka sia-sialah tubuh ruhaniahnya, sehingga diapun masuk kategori menzalimi dan membodohi dirinya sendiri. Sebab tugas yang Allah letakkan padanya ialah agar dapat mengemban amanah tersebut.[3]
Setelah Allah menyebut peruntukan penciptaan segala yang ada di bumi, Dia kemudian menggunakan kata sambung ثُمَّ (tsumma, kemudian), yang menunjukkan adanya pengurutan (tartĭb), yaitu—yang oleh ahli bahasa disebut—tartĭb infishāl (pengurutan terpisah); artinya, kejadian berikutnya tidak terjadi dengan serta-merta. Di belakang kata sambung ثُمَّ (tsumma, kemudian) ini ialah kalimat اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء (istawā ilas-samāi, beranjak ke langit). Maksudnya, pelaksanaan amanah tadi sekaligus menjadi tangga-tangga ruhaniah yang starting point (titik anjak)-nya bermula dari bumi, dari dunia material, dari tubuh biologis, untuk selanjutnya menuju ke ‘langit’. Hanya individu-individu yang bisa melepaskan diri dari jeratan bumi, dunia material, tubuh biologisnyalah yang bisa melanjutkan perjalanannya menuju ke ‘langit’. Itu sebabnya kata sambungnya menggunakan ثُمَّ (tsumma, kemudian)—tartĭb infishāl (pengurutan terpisah)—dan bukan فَ (fa', lantas)—tartĭb ittishāl (pengurutan bersambung). Jadi yang Allah sampaikan di ayat ini bukanlah proses penciptaan, melainkan rangkaian perjalanan spiritual (mi’raj ruhani) yang sejatinya ditempuh oleh manusia. [4]
Penggunaan kata عَلِيمٌ ('alĭm, Maha Mengetahui) di akhir ayat ini mengisyaratkan bahwa perjalanan ruhani pada hakikatnya adalah sebuah napak tilas menelusuri ilmu Allah. Yang artinya, progresifitas perjalanan itu berbanding lurus dengan makin bertambahnya ilmu seseorang. Kian bertambah ilmu sesorang tentang Allah (seharusnya) kian bertambah pula kapasitasnya dalam memikul amanah yang diembannya, dan kian bertambah tinggi pula martabat ‘langit’ yang dicapainya, sehingga (pada akhirnya) kian dekat yang bersangkutan kepada ‘arasy Rab-nya.[5]
Setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyebutkan bukti keberadaan dan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya melalui apa yang mereka saksikan sendiri pada diri mereka, lalu Dia menyebutkan bukti lain melalui apa yang mereka saksikan, yaitu penciptaan langit dan bumi.
Istawaa ilas samaa (berkehendak atau bertujuan ke langit), makna lafadz ini mengandung pengertian kedua lafadz tersebut, yakni berkehendak atau bertujuan, karena ia di-muta’addi-kan dengan memakai huruf ilaa. Fasawwaahunna sab’a samaawaat (lalu Dia menciptakan tujuh langit), lafadz as-samaa dalam ayat ini merupakan isim jinis, karena itu disebutkan sab’a samaawaat. Wahuwa bikulli syai-in ‘aliim (Dia Maha Mengetahui segala sesuatu), yakni pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk yang telah Dia ciptakan.[6]
Dari uraian diatas dapat diketahui, yakni berkaitan dengan materi pendidikan yang terkandung dalam ayat tersebut, menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta merupakan salah satu dari beberpa bukti keagungan Allah SWT yang menuntut kita untuk mempelajarinya sehingga dapat menambah keimanan kita terhadap kekuasaan Allah SWT.
Sebagaimana dalam buku karya DR. Nurwajah Ahmad E.Q disitu disebutkan bahwa Alqur’an berulangkali menampilkan fenomena alam semesta, yang target akhir dari itu semua adalah kesadaran atas eksistensi diri sebagai makhluk yang tidak memiliki arti apa-apa dihadapan sang penguasa. Oleh sebab itu dalam setiap ayat yang menjelaskan fenomena alam senantiasa dikaitkan dengan dorongan terhadap manusia unrtuk melakukan pengamatan, penyelidikan yang akan menambah pengetahuan manusia.[7]   Maka dengan demikian manusia harus menggunakan segala kekayaan alam bukan semata-mata untuk kepentingan fisik dan intelektual tetapi lebih penting lagi adalah untuk moral dan spiritual.[8]
Ayat ini turun dalam rangka Al-Taubih (ejekan) dan Al-Ta’ajjub (keanehan) yang disebabkan karena sifat ingkar yang ditunjukkan oleh orang-orang fasik dengan menyebutkan bukti-bukti yang mendorong mereka agar memiliki keimanan dan menjauhi kekafiran.[9]
Adapun diantara bukti-bukti tersebut adalah adanya kenikmatan yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT, yang diperlihatkan dengan permulaan penciptaan makhluk-Nya hingga berakhirnya kehidupan ini.
Maka dari uraian-urain tersebut diatas dapat difahami bahwasanya yang terkandung dalam Surat Al Baqarah ayat 29 adalah berbicara tentang penciptaan alam semesta dalam rangka memberi peringatan orang – orang fasik. kemudian Allah juga menciptakan segala apa yang ada di bumi dan di langit untuk manusia, dengan demikian ayat tersebut tidak membicarakan proses penciptaan alam, melainkan lebih ditunjukan untuk menjelaskan posisi alam sebagai tempat yang penuh karunia tuhan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sehingga manusia dapat bersyukur atas karunia tersebut dan meningkatkan keimanannya.
Berkaitan Dengan surat Al Baqarah ayat 29, ada pula ayat Al Quran yang masih ada hubungannya dengan materi pendidikan yaitu Surat Al-A’raf Ayat 54.
žcÎ) ãNä3­/u ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# ÓÅ´øóムŸ@ø©9$# u$pk¨]9$# ¼çmç7è=ôÜtƒ $ZWÏWym }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur tPqàfZ9$#ur ¤Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín͐öDr'Î/ 3 Ÿwr& ã&s! ß,ù=sƒø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$#
Artinya :  Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy.[10] Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.
Menurut tafsir al-maraghi, kata Ar-Rabb berarti Tuhan pemilik, pengendali dan pendidik. Sedang Al-Illah ialah sesembahan yang diseru supaya menghilangkan bahaya atau mendatangkan keuntungan, dan yang didekaati dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang di harapkan dapat menjadikan-Nya rela. Kemudian kata As Samawati Wal Ard yaitu langit dan bumi, yang dimaksud ialah alam atas dan alam bawah. Sedangkan kata Al Yaum, waktu yang istimewa, lain dari pada yang lain, karena peristiwa yang terjadi padanya, seperti halnya keistimewaan hari yang lazim kita kenal dengan adanya terang, karena terjadinya perang dan permusuhan padanya. Hari-hari yang enam ini yang di maksud bukan seperti di muka bumi, karena hari di muka bumi siang dan malamnya bejumlah dua puluh empat jam. Padahal waktu itu ada setelah diciptakanya bumi.[11]

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa materi pendidikan yang terkandung di dalam Al Quran Surat Al-Baqarah ayat 29 yaitu tentang penciptaan alam semesta dalam rangka memberi peringatan orang-orang fasik. Selain itu Allah juga menciptakan segala apa yang ada di bumi dan di langit. Dengan demikian ayat tersebut tidak membicarakan proses penciptaan alam, melainkan lebih ditunjukan untuk menjelaskan posisi alam sebagai tempat yang penuh karunia tuhan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia
Dapat kita menyimpulkan bahwa bahwa materi dari pendidikan adalah seluruh isi alam semesta, biologi, alam fisik, alam meta fisik, astronomi, termasuk didalamnya adalah manusia itu sendiri, baik dari proses penciptaan sampai kematian manusia adalah materi dari pendidikan. Dari surat Al A’raf ayat 54, kita diajarkan bahwa segala sesuatu itu memerlukan proses karena manusia adalah mahluk kasab yang diwajibkan berproses, dalam hal ini adalah belajar dan tidak meninggalkan kewajiban sebagai hamba Allah Swt.
Islam telah memberikan solusi yang terbaik pada permasalahan pendidikan di Indonesia dengan mensinergiskan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum, yakni dengan menciptakan pendidikan yang holistik serta tidak memilah-milah antara ilmu umum dengan ilmu agama, maupun antara pendidikan formal dan non formal, karena esensi pendidikan adalah membentuk memanusiakan manusia (menjadikan manusia yang sesungguhnya manusia). Seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan konsep ini diharapkan dapat mewujudkan peserta didik yang memiliki kecerdasan dan ahlak yang mulia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Musthofa Al Maraghi, penerjemah Bahrun Abubakar, Terjemah Tafsir Al Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putera, 1986), Cet. I.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. X.
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Cet. I.
M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains Dalam Alqu’an, Malang,: UIN Malang Press, 2007 .
Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat Ayat Pendidikan, (Bandung : Marja, 2007), Cet. 1.
K.H. Aep Saefudin SAG , Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 6 Maret 2012. From. http://mbintangraya.blogspot.com/2012/03/tafsir-qs-al-baqarah-29.html
http://www.mafatihuljinan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=134:surat-al-baqarah-2-ayat-29&catid=50:tafsir-al-barru&Itemid=93


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. X, hlm. 138
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] K.H. Aep Saefudin SAG , Kajian Tafsir Ibnu Katsir, 6 Maret 2012. From. http://mbintangraya.blogspot.com/2012/03/tafsir-qs-al-baqarah-29.html
[7] Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat Ayat Pendidikan, (Bandung : Marja, 2007), Cet. 1, hlm. 129
[8] M. Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains Dalam Alqu’an, (Malang,: UIN Malang Press, 2007 ),  hlm. 46
[9] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Cet. I, hlm. 105
[10] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[11] Ahmad Musthofa Al Maraghi, penerjemah Bahrun Abubakar, Terjemah Tafsir Al Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putera, 1986), Cet. I, hlm. 296-297.

0 komentar:

Posting Komentar