Sabtu, 29 September 2012

EKSISTENSIALISME


EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang  semua gejala kehidupan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi merupakan cara manusia berada di dalam dunia.
Kata eksistensi berasal dari kata ex (keluar) dan sistensi (berdiri, menempatkan). Jadi, eksistensi diartikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia di luarnya. [1]
Martin Heidegger (1905) dengan bukunya Sein Und Zeit (1927). Menurutnya, persoalan berada hanya dapat dijawab melalui ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metode fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti berada itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. [2]
    Menurut Kierkegard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu "ada" yang statis, melainkan suatu "menjadi", yang didalamnya mengandung didalamnya suatu perpindahan, yaitu perpindahan dari "kemungkinan" ke "kenyataan". Apa yang semula berada sebagai kemungkinan berubah atau bergerak menjadi kenyataan. Perpindahan atau perubahan inilah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan, yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.[3]
Eksistensialisme umumnya menentang doktrin kaum rasionalis dan empiris yang memandang bahwa alam ini pasti (determine, resolute), teratur dala sisten yang dapat dimengertioleh pikiran peneliti sehingga bisa menemukan hukum-hukum alam yang mengelola segala yang ada, serta peranan akal sebagai kekuatan yang menuntun aktifitas manusia. Eksistensialisme memandang bahwa penekanan positivisme, linguistik, kumpulan pengetahuan diskriptif dan sains menjadikan kehidupan kita kosong.[4] Karena eksistensi manusia di Bumi terancam, pemusnahan manusia dan nilai-nilai moral merupakan bahaya yang riil, maka arti eksistensi manusia menjadi persoalan.[5]
Di dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya itu menghadapi hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang sebenarnya.[6]
Disamping itu, kemunculan eksistensialisme sebagai aliran falsafah terletak pada detotalisasi. Maksudnya memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Materialism memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal bagi eksistensialisme itu hanyalah aspek manusia.[7]
Eksistensialisme yang disebut juga sebagai falsafah eksistensi atau  falsafah eksistensialisme, merupakan falsafah yang relatif modern (walaupun secara historis berakar jauh kebelakang pada masa falsafah Yunani dan abad pertengahan).[8] Berikut ini merupakan pokok atau karakteristik utama eksistensialisme, yang oleh Peter A, Angeles diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, antara lain: Pertama, eksistensi mendahului esensi; kedua, kebenaran itu subyektif; ketiga, alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral dikontruksi oleh manusia dalam konteks bertanggung jawabatas perbuatan mereka dan perbuatan atas selainnya; keempat, perbuatan individu tidak dapat diprediksi; kelima, individu mempunyai kebebasan berkehendak secara sempurna; keenam, individu tidak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan; ketujuh, individu dapat secara sempurna menjadi selain dari pada keberadaannya.[9]
Gabriel Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya.
Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian adalah semu.
Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.[10]
Ide pokok falsafah eksistensialisme adalah bicara soal aku dan ada.soal yang paling pokok adalah arti kata aku ada. Manusia, menurut Heidegger, adalah suatu mahluk yang terlempar didunia ini tanpa persetujuanya. Ia perlu mengakui keterbatasannya. Manusia ke luar dari jurang yang sangat dalam. Dalam menghadapi ketiadaan itu manusia gelisah, namun kegelisahanya memungkinkan menjadi sadar akan eksistensinya. Dalam mempelajari dirinya,manusia soal-soal kesementaraan (temporary), takut dan khawatir, hati kecil dan dosa, ketiadaan (nothingness), dan mati (tood, dead).[11]
Soal ada dan aku ini dalam kaca mata falsafah Islam masuk dalam kajian falsafah wujudiyah. Namun sebelum sampai kesana lebih dahulu akan dianalisis bagaimana pandangan falsafah pendidikan Islam tentang seluruh pemikiran diatas. Perspektif falsafah pendidikan Islam ini saya sebut dengan falsafah hadhariyah.[12]



[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 191.
[2] Ahmad Syadzali, Filsafat Umum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 128.
[3] Erlita Yustya Rini. Eksistensialisme Martin Heidegger. http://pesantrenbudaya.com/?cat=filsafat-barat
[4] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, paradigma baru pendidikan hadhari berbasis integratif interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2011), hlm. 214.
[5] Ibid., (Harold H. titus). hlm. 215.
[6] A. Chairil Basori, Filsafat, (Semarang: IAIN Walisongo, 1985), hlm. 128.
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. op,cit., hlm. 405-406.
[8] Abd. Rachman Assegaf, Op. Cit. (peter A. Angeles), hlm. 216.
[9] Ibid.
[10] Ahmad Syadzali, op.cit., hlm. 130-131.
[11] Abd. Rachman Assegaf, Op. Cit., hlm. 217-218.
[12] Ibid., 219.

0 komentar:

Posting Komentar