Selasa, 22 Mei 2012

DIALOG TEOLOGIS AHLI RO’YI DAN AHLI SUNNAH


BAB I
PENDAHULUAN


Kami mengucapkan Alhamdulillah dan segala puji syukur ke hadirat Allah SWT atas terselesaikannya makalah ini yang berjudulkan DIALOG TEOLOGIS AHLI RO’YI DAN AHLI SUNNAH
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembacanya dan teman-teman sekalian, terutama untuk kami, karena dengan pembuatan makalah ini, hal tersebut menambah ilmu dan manfaat bagi kami.
Akhirnya, sesuai dengan pepatah “tiada gading yang tak retak”’ kami mengharapkan saran dan kritikan karena kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah yang Punya dan Mahakuasa. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah membantu dalam pembuatan makalah ini. Dan apabila ada kata-kata yang salah, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.




Jepara, Mei 2012

Penyusun



BAB II
KATA PENGANTAR
Latar Belakang Kemunculan.
Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:[1]
  1. Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ra’yu.
  2. Minimnya mereka menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.
  3. Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.


BAB III
PEMBAHASAN
DIALOG TEOLOGI AHLUL RA’YI DAN AHLUSUNNAH
Ahlul ra’yi yaitu garakan pemikiran keislaman yang berpusat di Baghdad atau Irak dengan kondisi yang berbeda dengan Madinah dan jarang dijumpai tradisi-tardisi sahabat dalam berbagai persoalan kehidupan, sehingga dalam menyelesaikan persoalan kehidupan kembali kepada kemampuan menghayati atau memahami ajaran Islam sesuai dengan kapasitas akal atau rasio.[2]
Sebagai kelanjutan dari gerakan ini muncul suatu gerakan yang mencoba mengadakan "modifikasi" terahadap pemikiran keslaman melalui pendekatan rasionalitas dengan mengutamakan aspek kemaslahatan ummat, penelitian 'illat dan maqasid syar'i.[3] Kerangka pemikiran semacam ini merupakan sebuah strategi intelektual yang rasional berdasarkan data sosiologis, tapi keberadaannya tidak menyimpang dari ruh Islam.[4] Oleh karenanya pola pendekatan gerakan pemikiran ini lebih lazim bila disebut gerakan rasionalistik.
A.    Mu’tazilah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan temannya ‘ Amru bin Ubaid.[5]
Sebagai kelanjutan dari gerakan ini muncul suatu gerakan yang mencoba mengadakan "modifikasi" terahadap pemikiran keislaman melalui pendekatan rasionalitas dengan mengutamakan aspek kemaslahatan ummat, penelitian 'illat dan maqasid syar'i.[6] Kerangka pemikiran semacam ini merupakan sebuah strategi intelektual yang rasional berdasarkan data sosiologis, tapi keberadaannya tidak menyimpang dari ruh Islam.[7] Oleh karenanya pola pendekatan gerakan pemikiran ini lebih lazim bila disebut gerakan rasionalistik.
IDE-IDE POKOK MU’TAZILAH
A.    Al-Tauhid (Tauhid/Keesaan)
Mu’tazilah adalah kelompok yang banyak melakukan pembelaan terhadap penyelewengan yang terjadi terhadap Keesaan Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk jism (tubuh) seperti halnya manusia, atau agama-agama lain di luar Islam yang tidak mengakui Keesaan Tuhan. Hal itu tidak lain mereka lakukan adalah untuk memantapkan Tauhid, bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak ada yang bisa menandingi-Nya dan serupa dengan-Nya. Pembelaan mereka terhadap Keesaan Allah itu melahirkan pokok pikiran yang selanjutnya dikenal juga dengan konsep al-Tanzih (pensucian) . Sehingga bisa dikatakan inti konsep Tauhid mereka adalah Tanzih.
1)      Tentang dzat Allah
Aliran Mu’tazilah dalam merealisasikan konsep tauhid ini secara global menempuh dua cara. Pertama: Menafikan keqadiman sifat-sifat Tuhan, dan kedua: Menetapkan kemakhlukan Alqur’an. Mu’tazilah berpendapat, bahwa; apabila kita mengakui keqadiman sifat-sifat Tuhan berarti dengan sendirinya menetapkan adanya sesuatu yang qadim selain Allah, itu berarti mengakui berbilangnya sesuatu yang qadim selain Allah, dan pada akhirnya membatalkan prinsip keesaan Allah SWT. Sebagai konsekwensi logis dari pendapat ini, Mu’tazilah mengatakan bahwa; Tuhan tidak memiliki sifat yang berdiri sendiri dari zat-Nya, tapi sifat-sifat itu hanya ada pada simbol penamaan tanpa mempunyai esensi. Kalau dikatakan bahwa “Tuhan itu melihat” berarti Tuhan melihatnya dengan zat-Nya (Bashiran bi Dzatihi) begitupun sifat-sifat lainnya.[8]
2)      Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Tentang Kalam (Firman Allah), mereka seolah-olah tidak lagi berpegang pada kesimpulan di atas. Mereka mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
3)      Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat (di sorga), membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT. Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)

4)      Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism). Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
5)      Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah meyakini bahwa janji dan ancaman Allah benar-benar ada dan terjadi, maka janji-Nya akan memberikan pahala dan ganjaran baik kepada orang yang berbuat baik pasti terjadi, demikian juga ancaman-Nya dalam bentuk hukuman dan siksaan bagi orang yang melakukan kesalahan dan keburukan juga pasti terjadi.
6)      Al-Manzilah baina al-Manzilatain (Tempat di Antara Dua Tempat)
Konsep iman, kafir dan fasik Washil ini dijelaskan oleh Abu Zahrah melalui kutipan dari al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal bahwa Iman menurut Washil adalah sekumpulan kebaikan, jika seseorang melakukannya maka dia berhak disebut Mukmin, dan ini adalah sebuah pujian. Sedangkan pada diri orang fasik sekumpulan kebaikan itu tidak sempurna, sehingga dia tidak berhak mendapat pujian, sehingga tidak disebut Mukmin, akan tetapi dia tidak juga Kafir, karena syahadah dan serangkaian kebaikan-kebaikan masih ada pada dirinya, dan itu tidak bisa diingkari. Namun jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat atas dosa besar yang dilakukannya, maka dia kekal di neraka, sebab di akhirat hanya ada dua golongan: golongan yang masuk sorga, dan golongan yang masuk neraka, hanya saja si pelaku dosa besar tadi mendapat keringanan azab di neraka (berada di neraka yang paling ringan azabnya). Dan Mu’tazilah memandang orang fasik pelaku dosa besar semasa hidupnya tetap bisa disebut Muslim, tanpa bermaksud untuk memuliakan dan memujinya, karena mereka masih dianggap Ahlul Qiblah, dan masih berpeluang bertaubat, paling kurang untuk membedakannya dengan orang Dzimmi.
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah tak ketinggalan mengklaim dirinya sebagai “Ahlul Haq” dan selanjutnya sebagai “Al-Firqah an-Najiah” (golongan selamat). Salah seorang tokoh terkemuka Mu’tazilah ‘Amr bin ‘Ubaid berkata kepada Khalifah al- Manshur: “ Adzharu al haq yattabi’uka ahluh” yang dia maksudkan “ahlu al haq” di sini adalah aliran Mu’tazilah dengan mengambil landasan dari sebuah riwayat Sufyan al-Tsaury dari Ibnu Zubair dari Jabir bin Abdullah dari Nabi SAW. berkata: “Sataftariqu ummatî ‘ala bidh’i wa sab’îna firqatan abirruhâ wa atqâha al fiah al mu’tazilah“.[9]
B.       AHLUSUNNAH WAL JAMAAH
1)        Pengertian
Secara etimologi, “As-Sunnah” berarti “cara” atau “jalan”, baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela. Istilah ini pertama kali muncul berdasarkan hadis Nabi tentang Iftiraq (perpecahan umat) : “umatku ini akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja. Para sahabat bertanya : “Siapa mereka itu wahai Rasulullah ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka itu yang mengikuti sunnahku dan jamaah para sahabatku pada hari ini” [HR Tirmidzi dan Ath-Thabrani].
Ahlus Sunnah adalah mengikuti sunnah Nabi. Dan Wal Jama’ah mengikuti  jama’ah para sahabat, serta selalu bersatu dalam jama’ah kaum muslimin. Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kemudian dipopulerkan oleh Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H - 326 H) untuk memberi identitas kepada para pengikut theologi Asy’ariyah.[10]
Sebenarnya Aswaja dari aspek teologis, seperti yang diungkapkan Dr. Ahmad Mahmud Subhi dalam bukunya “Fi Ilmil Kalam” terdiri dari dua golongan: Pertama: Aliran Salaf. Aliran ini dikenal sejak Imam Ahmad bin Hambal kemudian aliran ini secara bersambung diwariskan sampai kepada Ibnu Taimiah dan mencapai puncak keemasannya. Kedua: Aliran Khalaf, dan yang termasuk di dalamnya adalah golongan as-Shifatiyyah serta al- Maturidiyyah.[11]
1.1. Kalam Allah
Pertama: Kalam Nafsi, yaitu esensi yang berada pada zat Tuhan, dan kedua: Kalam Lafzhy, yaitu indikator-indikator yang menunjukkan kepada esensi tersebut, termasuk diantaranya lafazh-lafazh dan huruf-huruf serta suara-suara yang diturunkan Allah kepada Nabi- nabi-Nya. Asy’ari mengatakan: Yang pertama adalah Qadim dan yang kedua adalah Hadits (baru) dan makhluq, tidak kekal.[12] As-Syahrastani, seorang tokoh dalam aliran Asy’ari menjelaskan pendapat Asy’ari antara Kalam dan Ibarah. Ia mengatakan bahwa Kalam adalah esensi yang berada pada Tuhan, sedangakan Ibarah merupakan indikator yang menunjukkan kepada Kalam tersebut.[13] Bahkan Imam al-Haramain al-Juwainy salah seorang tokoh terkemuka yang banyak berjasa terhadap perkembangan faham Asy’ari menjelaskan bahwa yang dimaksud penurunan Alqur’an kepada Nabi adalah Malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu memahami maksud “Kalam” itu di atas langit ke tujuh lalu turun ke bumi menyampaikan pemahaman itu kepada Nabi.[14]
1.2. Konsep Keadilan Tuhan (Al-'Adl)
Baik Mu’tazilah maupun Asy’ari masing-masing mengakui sifat keadilan Tuhan. Mu’tazilah meninjau keadilan Tuhan dengan kaca mata rasionalitasnya dengan menitikberatkan kepada “kepentingan manusia”. Sementara Asy’ari menitikberatkan pendekatan teologinya dalam meninjau keadilan Tuhan kepada “kehendak otoritas Tuhan”
1.3. Kehendak dan perbuatan
Teori dalam faham Asy’ari dengan term al Kasb. Teori ini akan mencoba menggabungkan dua faham yang saling kontradiktif, yakni faham Jabariyyah (yang mengatakan bahwa segala yang terjadi atas diri manusia adalah cipataan manusia tanpa ada ikhtiar bagi manusia) dengan faham Qadariyah (yang beranggapan bahwa segala perbuatan manusia adalah ditentukan manusia sendiri terlepas dari campur tangan Allah). Dalam teori al-Kasb ini, Asy’ari membagi perbuatan manusia dua bentuk: pertama: Al-Af’al al-Idhtirariyyah, dan yang kedua; Al-Af’al al-Ikhtiyariyyah. Yang termasuk dalam bagian pertama adalah segala perbuatan yang bersifat reflektif yang dilakukan secara terpaksa atau di luar alam kesadaran. Sedangkan yang masuk pada bagian kedua adalah segala perbuatan yang dilakukan secara terencana atau terprogram.
Postulat yang digunakan Asy’ari dalam pemahaman ini adalah “Sebuah perbuatan diusahakan (al-Kasb) oleh manusia dengan kekuatan yang diciptakan (al-Khalq) oleh Allah padanya”.[15] Baik perbuatan idhtirary maupun ikhtiyary dalam konsep “Kasb” Asy’ari termasuk ciptaan Allah, namun bedanya adalah, yang pertama dilakukan oleh manusia secara terpaksa dan yang kedua dilakukan berdasarkan usaha dengan daya diciptakan Allah padanya.[16] Selanjutnya dikatakan bahwa perbuatan yang mendapat tuntutan dan pertanggungjawaban hanyalah perbuatan yang kedua (ikhtiyary) tanpa yang pertama (idhtirary).[17] Argumen yang dimajukan oleh Asy’ari menyangkut diciptakannya Kasb oleh Allah adalah ayat Alqur’an: “Allâhu khalaqakum wamâ ta’malûn“, artinya: “Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu”.[18]
Dalam konsep Asy’ari ikhtiar tersebut tetap tinggal di depan, dalam arti daya pemberian Tuhan datang bersamaan dengan terlaksananya suatu perbuatan (al-Fi’l). Dengan demikian ikhtiarlah yang menjadi syarat utama unmtuk menilai status sebuah perbuatan. Besar kecilnya sebuah amal kebajikan, demikian juga pelanggaran, selalu ditentukan oleh kualitas ikhtiar seseorang. Jadi ikhtiarlah yang melatarbelakangi terjadinya sebuah usaha (al- Kasb). Meski demikian tidaklah berarti ikhtiar manusia tersebut lepas dari ilmu, iradah dan qudrat Allah SWT. Sebab ikhtiar manusia itu sendiri merupakan kemuliaan dari Allah SWT. untuk hamba-Nya. Tapi ikhtiar dalam pandangan Asy’ari sama sekali tidak mengandung unsur paksaan. Itu sebabnya Asy’ari --seperti disebutkan sebelumnya-- membagi perbuatan manusia kepada dua bagian: perbuatan idhtirariyyah dan perbuatan ikhtiyariyyah.




BAB IV
KESIMPULAN
Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa metodologi pemikiran Asy’ari mengambil posisi ekstrim rasionalis menggunakan metapor dan golongan ekstrim tekstualis yang literlijk. Adalah sebuah metodologi yang dianggap mampu menjamin orisinilitas aqidah Islam dalam menghadapi tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru. Dengan kata lain, para penganut aliran teologi ini mampu mengikuti dan mentolerir segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
A.Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-3.
Drs. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, cet. ke-1.
Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Methode Islam, Jakarta: Media Da'wah, 1994, cet. ke-1.
Dr. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, cet. I th. 1992.
Prof. Dr. Mustafa Abdul Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Kairo:Lajnah at-Ta’lif.
Hammudah Gurabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kairo: Mathba’ah ar-Risalah, 1954.
Abu al-Hasan al-Asy’ari, Risalah fi Istihsan al-Haudh fi al-Kalam, Haidar Abad, Majlis Dairat al-Ma’rifah, th. 1323 H
Ibnu Jarir alThabary, Tahdzibul Atsar, (Makkah: Al-Shafa, th. 1402 H.), vol. II.
Thabaqat as-Syafi’iyyah, Al-Subki, (cet. Kairo), vol. II.
Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th
Ibnu Mandzur, Lisan al-’Arab, (Beirut: Dar Shadir) vol. XIII.


[1] Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th
[2] Drs. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, cet. ke-1, h. 193
[3] Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Methode Islam, Jakarta: Media Da'wah, 1994, cet. ke-1, h. 154
[4] A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-3, h. 58
[6] Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Methode Islam, Jakarta: Media Da'wah, 1994, cet. ke-1, h. 154
[7] A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-3, h. 58
[8] Dr. Hammudah Gurabah dalam karyanya tentang Asy’ari juga Richard McCarcy dalam bukunya: The Theology of Al-Ash’ary. Lihat: Al-Mutakallimun wa ar-Ra’du ‘alaihim, hal. 21
[9] Ibnu Jarir alThabary, Tahdzibul Atsar, (Makkah: Al-Shafa, th. 1402 H.), vol. II, hal. 182.
[11] Ibnu Mandzur, Lisan al-’Arab, (Beirut: Dar Shadir) vol. XIII, hal. 225
[12] Hammudah Gurabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kairo: Mathba’ah ar-Risalah, 1954, hal. 65-66.
[13] Ibid.,66-67
[14] Thabaqat as-Syafi’iyyah, Al-Subki, (cet. Kairo), vol. II, hal 250-251.
[15] Prof. Dr. Mustafa Abdul Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Kairo:Lajnah at-Ta’lif, hal. 46-47
[16] Hammudah Gurabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kairo: Mathba’ah ar-Risalah, 1954, hal. 67.
[17] Dr. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, cet. I th. 1992, hal. 273
[18] Abu al-Hasan al-Asy’ari, Risalah fi Istihsan al-Haudh fi al-Kalam, Haidar Abad, Majlis Dairat al-Ma’rifah, th. 1323 H

0 komentar:

Posting Komentar