Minggu, 08 April 2012

tafsir

PEMIMPIN DAN TANGUNG JAWAB


Disusun
Guna memenuhi tugas : Hadis
Dosen pengampu: Hj.Hindun Anisah. M.A.

 







Oleh kelompok 01:



.


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(INISNU) BANGSRI JEPARA 2011
PEMIMPIN DAN TANGUNG JAWAB

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menitah kehidupannya, semua makhluk manusia pada khususnya tidak dapat hidup sendiri-saendiri dan saling membutuhkan. Mereka harus hidup berdampingan, saling membantu dalam menutupi kekurangan-kekurangan , saling menjaga dan saling menasihi, sehingga terciptalah kebersamaan dalam mengisi kehidupan mereka. Itulah sebabnya manusia disebut dengan makhluk sosial bukan makhuluk sok sial yang mau menang sendiri dan menjadi sumber keresahan bagi yang lainnya.
Dari sini dapat kita sadari dan tidak dapat kita pungkiri bahwa dalam kebersamaannya muncullah unsure-unsur perbedaan diantara mereka yang dapat mengancam indahnya kebahagiaan itu sendiri. Dan jika hal ini dibiarkan begitu saja, tanpa ada sosok yang mampu menyelami perbedaan mereka, mampu mempengaruhi mereka dalam memahami makna perbedaan dan menyadari indahnya kebersamaan, mampu mengkoordinasi atas mereka dalam mencapai tujuan bersama, maka sudah barang tentu kehancuran akan nampak nyata melanda kehidupan ummat manusia. Sosok tersebut tidak lain adalah ‘Pemimpin’ . Pemimpin yang bertanggungjawab dan mampu menjalankan roda kepemimpinannya.
Kepemimpinan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kemasalahatan, baik di dunia maupuan di akhirat karena kepemimpinan adalah penentu terhadap apa yang di pimpin, semua kepemimpinan itu amanah baik dalam segala aspek Karen sang pemimpin wajib bertanggung jawab terhadap yang di pimpinnya. Dan bagi masyarakat yang di pimpin wajib mentaati pemimpin, sebagaimana yang ditegaskan di dalam Al-Qur’An.
BAB II
LATAR BELAKANG

A.Hadits Tentang Pemimpin Dan Tangung Jawab

حَدِيْثُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّىَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالاَمِيْرُ الَّذِى عَلىَ النَاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلِدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَا لِسَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ, اَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيّّتِهِ. (اخرجه البخاري(

Artinya:
“Hadits Abdullah bin Umar r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang ‘amir yang menguruh keadaan rakyat dalah pemimpin, ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang rakyatnta. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarga di rumahnya. Ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kekuasaannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya. Ia, akan dimintai pertanggung jawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya. Ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinanya. [1]

BAB III
PEMBAHASAN

A.Pengertian Pemimpin Dan Tangung Jawab
Pemimpin adalah orang yang memberikan kepemimpinan tertentu.[2] Orang-orang ini yang merupakan pemimpin sejati mungkin pemimpin formal atau mungkin juga bukan. Sedangkan yang dimaksud dengan kepemimpinan adalah apa yang membawa kita dan orang lain menujundunia yang lebih baik.[3] Kepemimpinan menungangi kekuatan yang menarik individu klompok, organisasi ,pasar, ekonomu dan masyarakat kearah yang berbeda-beda , dan memberiakan kaitan yang memampukan kita mendapatkan manfaat dari perubahan disekitar kita.
Pemimpin dan kepemimpinan memiliki ragam definisi atau pengertin dari berbagai pemikiran-pemikiran. Pemimpin adalah sosok pelaku dan kepemimpinan adalah nilai atau karakteristik dan tanggungjawab pemimpin yang tertuang dalam pengaplikasian sikap dan tindak laku kala dia memimpin. Oleh sebab itu muncul pengertian bahwa .Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46). Kepemimpinan adalah kemampuan seni atau tehnik untuk membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya. 
Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281).[4] 
Inti dari kepemimpinan adalah memulai perubahan dan membuatnya terasa seperti kemajuan.[5] Kepemimpinan dapat membujuk orang untuk berhenti mengerjakan sesuatu yang sedang mereka kerjakan , dan membuat orang lain mengerjakan  sesuatu yang sedang tidak mereka kerjakan.
Sedangkan pemimpin yang bertangung jawab adalah  pemimpin yang mampu memikul amanatnya sebagai seorang pemimpin dan melaksanakannya sesuai dengan tuntutan dan konsekwen terhadap semua akibatnya. apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam menjalankan amanatr kepemimpinanya ,seorang pemimpin tidak lari dari tangung jawab.
B. Tujuan dan fungsi pemimpin dan tangung jawab
Seperti yang dijelaskan pada uraian diatas bahwa seorang pemimpin bertugas membawa perubahan terhadap diri, lingkungan keluiarga dan masyarakat secara umum,dan yang diinginkan dalam hadis nabi diatas perubahan dalam hal-hal yang positif tentunya. itulah inti dari tujuan kepemimpinan yang sebanarnya.
Mematuhi peraturan pemimpin suatu kewajiban dan keharusan bagi kita sebagai umat islam, akan tetapi ketaatan kita terhadap pemimpin itu ada batasannya yaitu apabila pemimpin tersebut menyuruh berbuat baik dan mencegah kemunkaran, maka kita wajib mentaatinya, begitupula sebaliknya apabila pemimpin menyuruh kita berbuat ke arah maksiat, maka kita wajib menolak dan meluruskannya, hanya saja penolakan dan pembenarannya harus dilakukan dengan arif dan bijaksana demi persatuan dan kesatuan bangsa atau umat.
Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[6]
C. Pentingnya Pemimpin Dan Tangung jawab
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.
Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat yang terpuji, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan memimpin dengan penuh kebijaksanaan, keadilan, yang tidak mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok diatas kepentingan umat. Apabila pemimpin sudah tidak memperdulikan umat , maka akan terjadi ketimpangan dalam masyarakat sebagai akibat ketidak obyektifan seorang pemimpin.
Wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Seperti yang djelas kan Nabi SAW, dalam sebuah hadis dari Al-Hasan, bahwa Ubaidillah bin Ziyad menjenguk maq’il berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad : Sesungguhnya saya akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rosululloh SAW. Saya mendengar Nabi SAW. Bersabda : "Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah SWT. Lalu ia tidak memeliharanya denga baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya bau surga (tidak mendapatkan surga)". (HR. Bukhari dan Muslim).[7]
Dengan demikian pemimpin dalam pandangan manusia secara umum, mendapatkan kedudukan yang mulia ,tetapi disamping kedudukan yang mulia tersebut ada konsekwensi yang harus di pikul penuh dengan kesungguhan dan bertangung jawab, baik tangung jawab kepada manusia baik secara yuridis konstitusional, sosial, dan (moral) tangung jawab kepada Allah sebagai subatansi dari segala pemberi amanat dan kepercayaan.





BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
            Pemimpin merupakan seorang yang mampu membawa perubahan kepada diri, keluarga, dan masyarakat secara umum. Pemimpin adalah orang yang memberikan kepemimpinan tertentu. Orang-orang ini yang merupakan pemimpin sejati mungkin pemimpin formal atau mungkin juga bukan. Setiap manusia adalah substansinya merupakan pemimpin , walaupun minimal menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri.
            Seperti yang dijelaskan Nabi bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertangung jawaban dari kepemimpinanya tersebaut. Apabila dalam memimpin berlaku adil dan penuh kebijaksanaan, maka akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah, tuhan semesta alam. Dan sebaliknya .
Pentingnya seorang pemimpin dalam suatu kelompok masyarakat sangat fundamental, karena adanya keberagaman karakter dari tiap-tiap individu dibutuhkan suatu aturan yang harus dipatuhi guna menyelaraskan keberlangsungan hidup bermasyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis.







DAFTAR PUSTAKA

Jonathan yudelowitz, Smart leadership.(Jakarta,,Pt.Elex media komputindo kelompok Gramedia,).
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993).
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009).
Sayyid ahmad al-hasyimi. Syarah mukhtaarul ahaadiits. ( Bandung. Sinar baru Al gesindo ofaet).


[1] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993), Hal. 562-563.
[2] Jonathan yudelowitz, Smart leadership.(Jakarta,,Pt.Elex media komputindo kelompok Gramedia,). Hlm.2.
[3] Ibid.hlm.1.
[5] Op.cit.
[6] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009), Hal. 1030-1031.
[7] Sayyid ahmad al-hasyimi. Syarah mukhtaarul ahaadiits. ( Bandung. Sinar baru Al gesindo ofaet).






WAWASAN AL QURAN TENTANG PENDIDIKAN


Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Tafsir
Dosen Pengampu  Mata Kuliah : Hj.Hindun Anisah. M.A.
 












FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA (INISNU) BANGSRI JEPARA 2011
WAWASAN AL-QURAN TENTANG PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN



A. Pengantar

Pendidikan memiliki peran penting pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.
Secara filosofis, pendidikan Islam pada dasarnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, sehingga dengan nilai ini bisa membantu dalam menjalani proses kehidupannya, yang sekaligus juga untuk menghasilkan, mengisi, memelihara, dan memperbaiki peradabannya. Dalam konteks ini, maka dasar pendidikan Islam berkaitan dengan kepentingan dan cita-cita kemanusiaan universal. Dalam prosesnya, pendidikan Islam merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Atas dasar itu, setiap pendidikan Islam yang sedang berlangsung untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang tentu memiliki paradigma, yaitu suatu ’cara pandang’ pendidikan Islam dalam memahami dunia’ (world view). Setiap paradigma mencerminkan ’cara pandang’ masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma pendidikan Islam sesuai dengan ’cara pandang’ masyarakat atau negara bersangkutan terhadap dunianya.
Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah kewajiban agama, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia. Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam adalah merupakan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pendidikan menjadi kewajiban individual dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal. Kerena bernilai ibadah, maka pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku, dan kepribadian para peserta didik.



















BAB II
PEMBAHASAN



A. Pendidikan Dalam Al Quran

Al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.[1]
Al-Qur’an juga telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[2]
Pada intinya pendidikan islam menitik beratkan kepada ketakwaan sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar taqwa dan hakekat serta tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka taqwa bukan saja hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi taqwa harus menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses, maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip taqwa yang berimplikasi kepada pendidikan, diantaranya. Dasar taqwa adalah Alqur’an yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus.[3] Rasulullah bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia.[4] Menurut Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah.[5]

B. Tujuan pendidikan dalam Al Quran

Pada dasarnya pendidikan dalam Al Quran menitik beratkan pada ketakwaan kepada Allah SW, seperti yang tertuang dalam surat Ali IMron (3): 102:103

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ …. (104)


”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”[6](102)  berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah kesemuanya, dan jangan lah kamu berpecah belahserta ingatlah nikmat Allah………..(103)

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ  (berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah) maksudnya Agama-Nya.  جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا  (kesemuanya, dan janganlah kamu berpecah belah) setelah menganut Islam  وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ  (serta ingatlah nikmat Allah) yakni karunia-Nya.[7]

Dalam ayat tersebut, taqwa dipahami sebagai “yang terbaik menunaikan kewajibannya”.[8] Arti taqwa bisa berarti ”menjaga, menghindari, menjauhi”; dan ada juga yang mengartikan dengan ”takut”. Dengan mengambil pengertian ”takut”, maka taqwa berarti ”takut kepada Allah”. Karena ketakutan ini, maka ia harus mematuhi segala ”perintah Allah” dan ”menjauhi segala larangan-Nya”.

Pesan ayat yang lalu untuk bertakwa sebenar-benar takwa dan tidak mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah SWT., [9] pesan dimaksud adalah: berpegang teguhlah, yakni upaya sekuat tenaga untuk mengaitkan Dari satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakan disiplin kamu semua tanpa kecuali.

Serta dalam ketakwaan kepada Allah dilarang untuk saling berpecah belah antara umat Islam, karena umat Islam hakekatnya adalah satu. Satu dalam artian yang substansial, yaitu persaudaraan dalam iman dan ketakwaan.


                                                
C. Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[10]

Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[11]
Demikian halnya dengan pengetahuan, ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya pengetahuan itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan pengetahuan digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan didapat
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas teng lah bahwa Islam memberikan konsep pendidikan yang mencakup keseluruhan bidang kehidupan mulai dari kehidupan dunia hingga kehidupan Ahirat.Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Pemaknaan takwa jika dikaitkan dengan pendidikan, tentu memiliki makna yang cukup luas, yang terkadang cenderung dipahami dalam arti yang amat sempit. Jika menilik kata takwa dalam al-Qur’an yang menjadi studi kajian makalah ini—adalah menjadi tujuan segenep prilaku dan praktik ritual apapun. Dalam kaitan ini, mestinya takwa—dalam arti luas—juga menjadi tujuan pendidikan Islam, beralandaskan nilai moral (akhlak) yang kemudian menjadi sumber inspirasi membangun peradaban dengan tingkat profesionalisme yang tinggi.  Namun, suatu hal yang selalu menjadi masalah ialah sejauh mana konsep takwa dipahami dengan baik, dan di-konteks-kan untuk menjadi tujuan pendidikan, tanpa harus kehilangan makna dasar dari  akar kata tersebut.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.
Wallahu A’lam bisowaf

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran terjemah Indonesia . Kudus, Menara kudus,1427.H.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997.
Imam jalaludin Al-mahalli, Tafsir jalalin.Bandung. 2007. Sinar baru Algesindo.cet.5.
Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, Tt, Bogor.
Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001).




[1] Al Quran terjemah Indonesia . Kudus, Menara kudus,1427.H.
[2] Ibid.
[3] Q.S.Al-Israa/17 : 19
[4] Q.S. Al-Mulk/67 : 2
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997, hal. 172.
[6] Q.S. Ali Imron/3 :103.
[7] Imam jalaludin Al-mahalli, Tafsir jalalin.Bandung. 2007. Sinar baru Algesindo.cet.5.hlm.249.
[8] Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun, Bogor, hal. 115.
[9] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997, hal.169.
[10] Q.S. Al Qashash..(28) : 77.
[11] Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.




PENDIDIKAN KECERDASAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis
Dosen Pengampu Hj.Hindun Anisah. M.A.





INISNU
 







FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( INISNU ) BANGSRI JEPARA 2011

PENDIDIKAN KECERDASAN
Oleh : Amin Mahfudh Said
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Islam memandang pendidikan sebagai sesuatu yang identik dan tidak terpisahkan dari asal muasal penciptaan manusia/ fithrah/ insaniyah manusia itu sendiri, yakni terdiri dari tiga hal: Jasad, Ruh, dan Intelektualitas. Dengan demikian, pendidikan dalam pandangan Islam meliputi tiga aspek yang tidak dapat dipilah-pilah:
1. Pendidikan intelektualitas (kecerdasan)
2. Pendidikan jasmani
3. Pendidikan Ruh
Hakikat inilah yang menjadi salah satu rahasia sehingga wahyu dimulai dengan perintah “Iqra” (membaca), lalu dikaitkan dengan “khalq” (ciptaan) dan “Asma Allah” (Bismi Rabbik). Lihat QS: Al ‘Alaq: 1-5. Maksudnya, bahwa dalam menjalani kehidupan dunianya manusia dituntut untuk mengembangkan daya inteletualitasnya dengan suatu catatan bahwa ia harus mempergunakan sarana “khalq” (ciptaan) sebagai object dan “Asma Allah” (ikatan suci dengan Nama Allah/hukumnya) sebagai acuan. Bila ketiganya terpisah, akan melahirkan, sebagaimana telah disinggung terdahulu, suatu ketidak-harmonisan dalam kehidupan manusia itu sendiri.
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف... (رواه مسلم والنسائ وابن ماجه)

Artinya : “seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah dari pada seorang mukmin yang lemah”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan  Dan Tranformasi Ilmu Pengetahuan

يرفع الذين امنوا منكم والذين اتوا العلم د رجت
Artinya : Niscaya Allah akan nmeninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang berilmu pengetahuan beberapa derajat. (Ali Imron : 18)[1]

Ayat diatas mengisyaratkan bahwa Allah memberikan prioritas kepada orang yang beriman , dan orang yang mempunyai Ilmu pengetahuan, yang membedakan diantara umat-umat yang lain yang tidak beriman dan berilmu pengetahuan.
Pentingnya mendayagunaan akal sangat dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Redaksi al-Qur'an dan al-Hadis tentang berfikir atau mempergunakan akal cukup variatif. Ada yang dalam bentuk khabariah, insyaiyah, istifham inkary. Semuanya itu menunjukkan betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual manusia. Dan kecerdasan intelektual itu berarti pemahaman terhadap ilmu pengetahuan.

المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف... (رواه مسلم والنسائ وابن ماجه)

Artinya : “seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah dari pada seorang mukmin yang lemah”.[2]

Dari keterangan  diatas memgandung pemahaman bahwa kuat bisa jadi dalam artian kuat dalam ilmu dan pengetahuan (cerdas) . apabila seorang muslim kuat dalam iman, ilmu dan kuat dalam berfikir (cerdas), maka dia secara otomatis dia akan diangkat derajatnya oleh Allah AWT.

B. Kecerdasan Spiritual

 “Telah menyampaikan kepada kami Adam, telah menyampaikan  kepada kami Abi Zib’in dari Az-Zuhri dari Abi Salamah bin Abdirrahman dari Abu Hurairah R.A ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Setiap anak dilahirkan diatas fitrahnya maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (Hadis riwayat Bukhari). [3]

            Dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifah di muka bumi. Untuk dapat melaksanakan pengabdian tersebut harus dibina seluruh potensi yang dimiliki yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Potensi-potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga.[4]
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.[5] Adapun ketiadaan kecerdasan ruh akan mengakibatkan hilangnya ketenangan bathin dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya kebahagiaan pada diri orang tersebut. Besarnya kecerdasan ruh lebih besar dari pada kecerdasan hati dan kecerdasan otak atau kecerdasan ruh cendrung meliputi kecerdasan hati dan kecerdasan otak.[6]
Untuk memperkuat pribadi, meneguhkan hubungan, memperdalam rasa syukur kepada Allah atas nikmat dan perlindungan yang selalu kita terima, maka dirikanlah shalat, karena dengan shalat kita melatih lidah, hati, dan seluruh anggota badan untuk selalu ingat kepada Allah. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.

C. Kecerdasan Intelektual

Kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas dan perlu diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, perumusan konsep dan strategi penerapannya mesti dilakukan dalam sistem pendidikan Islam guna menumbuhkan kecerdasan intelektual anak didik. Proses pertumbuhan kecerdasan intelektual menurut pendidikan Islam adalah ditandai dengan adanya pendidikan akhlak.
Pendidikan Islam di samping berupaya membina kecerdasan intelektual, juga membina kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Pendidikan Islam membina dan meluruskan hati terlebih dahulu dari penyakit-penyakit hati dan mengisi dengan akhlak yang terpuji, seperti ikhlas, jujur, kasih sayang, tolong-menolong, bersahabat, silaturahmi dan lain-lain. Ajaran akhlak yang demikian inilah yang menjadi titik berat dalam proses pendidikan Islam
Dalam berbagai catatan sejarah kehidupan Rasulullah SAW bahwa beliau memiliki akhlak yang mulia, seperti shiddiq (selalu berkata benar), amanah (selalu memelihara dan melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya secara benar), tabligh (selalu menyampaikan ajaran Tuhan kepada umatnya tanpa ada yang disimpan dan disembunyikan sedikitpun), dan fathanah (selalu memiliki kepekaan dan kecerdasan dalam memecahkan masalah yang ada di sekitarnya).[7]
Manusia dibekali Allah SWT intelektual yang cerdas. Di antaranya daya ingat yang tajam, sistematika dalam berpikir dan merumuskan persoalan, menyikapi persoalan secara simpel dan lain sebagainya, seperti kemampuan umat Islam menghafal Al Qur’an dan Hadits serta rumusan berpikir dalam ilmu mantiq. Keistimewaan ini karena kasih sayang Allah SWT pada orang-orang mukmin. Keimanan yang bersemayam dalam dada mukmin menghantarkan mereka memiliki kecerdasan intelektual. Rasul SAW memberikan indikator orang yang cerdas intelektualnya adalah Konsentrasi pada satu titik yang jelas, berpikir cerdas sehingga tidak mudah tertipu dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kecerdasan intelektual juga akan memberikan jalan keluar ketika menghadapi kondisi sulit. Bentuknya dapat berupa alternatif pemecahan yang beragam dan melalui cara yang ringan dan lain sebagainya
Menurut para ahli, otak manusia atau kecerdasan intelektualitas itu bisa diperbaiki, begitu pula dengan kecerdasan emosi dan spiritual, bisa dibenahi hingga tua sekalipun. Karena memang kemampuan akal dan potensi itu berkembang akibat pergaulan.[8]

Tujuh Kecerdasan Menurut Haward Gardner.[9] Haward Gardner dalam Barbara J. Braham di dalam bukunya Frames of Mind, memperkenalkan tujuh kecerdasan yang berbeda.
  1. Berbakat musik, kecerdasan ini muncul sebelum kecerdasan lainnya dan tidak bernilai budaya tinggi.
  2. Ilmu bahasa, tidak seperti kecerdasan musik, kecerdasan ilmu bahasa muncul lebih lamban dan sering tidak mencapai puncaknya sampai usia 50, 60 bahkan 70 tahun. Itulah sebabnya, mengapa banyak penulis menghasilkan karya terbaiknya pada tahun-tahun belakangan.
  3. Logika/Matematika, para ilmuwan, ahli hukum dan ahli matematika memiliki kecerdasan ini Kecerdasan ini mulai dengan benda yang akan dihitung dan sangat abstrak. Faktanya, pemikiran seseorang dengan kecerdasan logika/Matematika bisa begitu rumit sehingga pada umumnya orang mengalami kesulitan untuk mengerti
  4. Spasial, seperti kecerdasan logika/matematika, kecerdasan spasial larut dengan objek/berada dalam elemen yang berbeda atau ketika elemen tersebut dipindahkan. Ini merupakan kecerdasan yang ada pada ilmu seni grafis, arsitek, mualim dan pilot.
  5. Tubuh/Kinestetik. Orang dengan kecerdasan ini menggunakan tubuhnya dalam cara yang terkendali. Penari, pelawak dan atlet mempunyai kecerdasan tubuh atau kinestetik.
  6. Intrapersonal. Kecerdasan ini bervariasi menurut budaya, namun fokusnya ialah kehidupan dalam diri sendiri, perasaan dan intuisi. Guru kebatinan dan pemimpin agama mempunyai kecerdasan intrapersonal. Introspeksi juga bagian dari kecerdasan ini.
  7. Interpersonal. Kecerdasan ini juga dipengaruhi oleh nilai budaya, kecerdasan ini mempunyai fokus keluar, meliputi hubungan, mendeteksi perasaan orang lain, dan mengenali diri dalam berhubungan dengan orang lain. Pramuniaga dan motivator mempunyai jenis kecerdasan ini.


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dalam rangka mencapai pendidikan, Islam mengupayakan pembinaan seluruh potensi manusia secara serasi dan seimbang dengan terbinanya seluruh potensi manusia secara sempurna diharapkan ia dapat melaksanakan fungsi pengabdiannya sebagai khalifah di muka bumi. Untuk dapat melaksanakan pengabdian tersebut harus dibina seluruh potensi yang dimiliki yaitu potensi spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Potensi-potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang amat berharga.
Pendidikan Islam di samping berupaya membina kecerdasan intelektual, juga membina kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Redaksi al-Qur'an dan al-Hadis tentang berfikir atau mempergunakan akal cukup variatif. Ada yang dalam bentuk khabariah, insyaiyah, istifham inkary. Semuanya itu menunjukkan betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual manusia. Dan kecerdasan intelektual itu berarti pemahaman terhadap ilmu pengetahuan.







DAFTAR PUSATAKA

Al Quran terjemahasn Indonesia. Kudus, menara kudus.. 1427.H.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) cet ke-1.
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual  ESQ (Jakarta:Penerbit Arga 2001) cet ke-1.
Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005).
Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Dar Ahya al-Turarts al-Arabiy, tt).
Dedhi Suharto, Ak, Qur’anis Quotient, (Jakarta : Yayasan Ukhuwah, 2003) cet ke-1.



[1] Al Quran terjemahasn Indonesia. Kudis, menara kudus.. 1427.H.
[3] Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut : Dar Ahya al-Turarts al-Arabiy, tt), h.125
[4] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) cet ke-1, h. 51
[5] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual  ESQ (Jakarta:Penerbit Arga 2001) cet ke-1, hlm. 57.
[6] Dedhi Suharto, Ak, Qur’anis Quotient, (Jakarta : Yayasan Ukhuwah, 2003) cet ke-1 h.
[7] Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),h.28




SURAT AL-FATIHAH


TUGAS MATA KULIAH TAFSIR TARBAWY
DOSEN PENGAMPU : HJ.HINDUN ANISAH. M.A.




 









FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(INISNU) BANGSRI JEPARA 2011
SURAT AL-FATIHAH
Oleh : Amin Mahfudh Said

BAB I
PENDAHULUAN



A. Al-Ftihah Sebagai Ummul Kitab

Al-Qur’an adalah petunjuk Allah yang bila dipalajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.[1]

Surat Al-fatihah diturunkan di Makkah; jumlah ayatnya ada tujuh berikut Basmalah, menurut pendapat yang mengangapnya sebagai salah satu ayat dari padanya, sedangkan ayat ketujuhnya mulai dari Ghairil magdubi sampai dengan ahir surat.[2] Surah Al-Fatihah itu dinobatkan sebagai Ummul Kitab atau induk kitab.

Makkiyyah, 7 ayat Surat al-Fâtihah ini termasuk kelompok surat Makkiyyah yang turun di Mekah sebelum hijrah. Disebut al- Fâtihah (pembuka), karena letaknya yang berada urutan pertama surat-surat al-Qur'ân. Surat yang pertama diturunkan secara lengkap di antara surat-surat yang ada dalam al-Qur'ân ini merupakan intisari dari seluruh kandungan al-Qur'ân yang kemudian dipeinci oleh surat-surat sesudahnya. Tema-tema pokok al-Qur'ân - seperti penjelasan tawhid dan keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang-orang mukmin, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir dan pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya- semua itu tercermin secara singkat dalam surat ini. Oleh sebab itu, surat ini juga disebut dengan nama Umm al-Kitâb (induk al-Qur'ân).

Ia merupakan surah pertama dalam susunan Al-Qur’an. Setiap rakaat dalam shalat surah ini wajib dibaca, tidak peduli berapapun jumlah rakaat-nya. Ia merupakan surah – yang sangat boleh jadi – paling sering dibaca. Ada juga yang berpendapat surah ini sebagai intisari atau resume atau rangkuman seluruh isi Al- Quran.

Allah mengajarkan kita bagaimana cara “berdoa” (baca : memohon) dengan benar. Dari total 7 ayat, 5 ayat pertama seluruhnya berisi pujian kepada Allah (5/7 x 100 = 70%). Seolah Allah mengajarkan/memberitahukan, bila seseorang ingin memohon, seyogyanya diawali dengan memuji.

Dan siapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah maka mereka akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dari para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, dan merekalah sebaik-baik kawan. (an-Nisa 69).













BAB II
PEMBAHASAN


A. Surat Al-Fatihah

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (1) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (2) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (3) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (4) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (5) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

Artinya : Segala puja dan puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam  (1). Yang Maha pengasih dan Penyayang (2). pemilik hari pembalasan (3). Hanya kepada engkau kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan (4). Tunjukanlah kami jalan yang lurus (5). (yaitu) Jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang  sesat (7).[3]

B. Al – Fatihah adalah Al – Qur’an Al – Azhim
Surat Al-Fatihah dinamai oleh Allah dengan “Al-Qur’an Al-Azhim”, padahal Al-Qur’an Al-Azim bukan hanya Al-Fatihah, masih ada surat-surat lainnya yang berjumlah 11 3. Namun Allah -Azza wa Jalla- menamainya demikian karena kandungan Al-Fatihah meliputi segala perkara yang dikandung oleh Al-Qur’an Al-Azhim secara global.
.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِيْ وَالْقُرْآنُ الْعَظِيْمُ
Artinya : “Ummul Qur’an (yakni, Al-Fatihah) adalah tujuh ayat yang berulang-ulang, dan Al-Qur’an Al-Azhim“. (HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4427), Abu Dawud dalam Sunan-nya (1457), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3124).[4]

C. Pelajaran Untuk Bersyukur
Alhamdu lillahir rabbil alamin. (Segala puja dan puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara alam semesta). Ibn Jarir berkata, "Alhamdu lillah, syukur yang ikhlas melulu kepada Allah tidak kepada lain-lain-Nya daripada makhluk-Nya, syukur itu karena nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba dan makhluk-Nya yang tidak dapat dihitung dan tidak terbatas, seperti alat anggota manusia untuk menunaikan kewajiban taat kepada-Nya, di samping rezeki yang diberikan kepada semua makhluk manusia, jin dan binatang dari berbagai perlengkapan hidup, karena itulah maka pujian itu sejak awal hingga akhirnya tetap pada Allah semata-mata.
Allah lah yang telah memberikan nikmat kepada manusia baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lainya yang tidak tyerhitung jumlahnya.[5]
Pujian Allah pada diri-Nya, yang mengandung tuntunan kepada hamba-Nya supaya mereka memuji Allah seperti seakan-akan perintah Allah, "Bacalah olehmu Alhamdulillah".Alhamdu pujian dengan lidah terhadap sifat-sifat pribadi, maupun sifat yang menjalar kepada orang lain, sebaliknya syukur itu pujian terhadap sifat yang menjalar, tetapi syukur dapat dilaksanakan dengan hati, lidah dan anggota badan. Alhamd berarti memuji sifat keberanian, kecerdasan-Nya atau karena pemberian-Nya. Syukur khusus untuk pemberian-Nya.
Ayat pertama Al-fatihah memberi sebuah pelajaran kepada manusia untuk mampu bersyukur kepada Allah atas segala rizki yang telah diberikan kepada manusia, nik mat  bias jadi dating dari Allah langsung maupun lewat tangan manusia sebagai perantara Allah dalam memberikan rizki-Nya.

D. Pelajaran Tentang Keimanan
Iyyaka na'budu wa iyyaka nas ta'iin. Hanya kepadaMu (Allah) kami mengabdi (menyembah) dan hanya kepada-Mu pula kami minta pertolongan).artinya, kami beribadah hanya kepada-Mu, seperti mantauhidkan/menegaskan dan lain-lainya, dan kami memohonmpertolongan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lainnya.[6]

"Iyyaka na'budu bermaksud Kepada-Mu kami menyembah mengesakan dan takut dan berharap, wahai Tuhan tidak ada lain-Mu". Dan Iyyaka nasta'in bermaksud "Kami minta tolohg kepada-Mu untuk menjalankan taat dan untuk mencapai semua hajat kepentinganku" Qatadah berkata, Dalam Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, Allah menyuruh supaya tulus ikhlas dalam melakukan ibadat kepada Allah dan supaya benar-benar mengharap bantuan pertolongan Allah dalam segala urusan”.[7]

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tidak ada tempat untuk mengabdi dan  menyembah kecuali hanya Allah SWt tuhan semesta alam dan juga hanya kepada Allah mengantungkan permohonan dan menggantungkan semua harapan, karena hanya Allah yang pantas untuk diimani sebagai tuhan.
Sayyid Qutbh dalam Tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur`an berpendapat bahwa Surah Al Fatihah mengandung akidah islam secara global, memuat konsep islam secara garis besar, memuat segenap rasa dan arahan, yang mengisyaratkan hikmah dipilihnya surah ini untuk diulang-ulang pada setiap rakaat shalat, dan hikmah batalnya shalat yang tidak dibacakan surah ini didalamnya.[8]

Ihdinaas Shiraathal mustaqiim. (Tunjukanlah kami jalan yang lurus). Shiraathal mustaqiim, jalan yang lurus yang jelas tidak berliku-liku. Shiraatal mustaqiim, ialah mengikuti tuntunan Allah dan Rasulullah saw. Juga berarti Kitab Allah, sebagaimana riwayat dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Asshiratul mustaqiim kitabullah'. Juga berarti Islam, sebagai agama Allah yang tidak akan diterima lainnya
.
Ayat diatas memberikan pelajaran bahwa hanya Allah yang mampu mambarikan patunjuk, hidayah manuju jalan kebaikan. Melalui Allah langsung petunjuk itu datang dan bisa jadi melalui mahluk sebagai perantara datangnya patenjuk, dan hidayah manuju jalan yang lurus jalan yang di ridloi Allah SWT.












                                                                 BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Surat ini hanya tujuh ayat, mengandung pujian dan syukur kepada Allah dengan menyebut nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang mulia, lalu menyebut hal Hari Kemudian, pembalasan dan tuntutan, kemudian menganjurkan kepada hamba supaya meminta kepada Allah dan merendah diri pada Allah, serta lepas bebas dari daya kekuatan diri menuju kepada tulus ikhlas dalam melakukan ibadat dan tauhid pada Allah, kemudian menganjurkan kepada hamba sahaya selalu minta hidayat taufik dan pimpinan Allah untuk dapat mengikuti shirat mustaqiim supaya dapat tergolong dari golongan hamba-hamba Allah yang telah mendapat nikmat dari golongan Nabi, Siddiqin, Syuhada dan Shalihin. Juga mengandung anjuran supaya berlaku baik mengerjakan amal saleh jangan sampai tergolong orang yang dimurkai atau tersesat dari jalan Allah.












DAFTAR PUSTAKA


Al Quran terjemah Indonesia.kudus. menara kudus . 1427 H.
Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al-Qur`an, diterjemahkah oleh As`ad Yasin Dkk. Dengan judul Di Bawah Naungan Al-Qur`an (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. II, h.25.           
Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AS-Suyuti. Tafsir jalalin. Bandung.2007. Sinar baru algesindo.jilid 1. cet.5.
Qurais Shihab, M. Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996).
Dr. M.Solihin,M.Ag. Membedah tema-tema penting Tasawuf Tematik. Bandung,2003,Pustaka setia.
http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=428 Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Judul: Keutamaan Surat Al-Fatihah



[1] Qurais Shihab, M. Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 13.
[2] Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AS-Suyuti. Tafsir jalalin. Bandung.2007. Sinar baru algesindo.jilid 1. cet.5. hlm. 1.
[3] Al Quran terjemah Indonesia.kudus. menara kudus hlm.1. 1427 H.
[4] http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=428 Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Judul: Keutamaan Surat Al-Fatihah
[5] Dr. M.Solihin,M.Ag. Membedah tema-tema penting Tasawuf Tematik. Bandung,2003,Pustaka setia.hlm.20.
[6] Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AS-Suyuti. Tafsir jalalin. Bandung.2007. Sinar baru algesindo.jilid 1. cet.5. hlm. 2.
[7] http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=428 Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah Judul: Keutamaan Surat Al-Fatihah
[8] Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al-Qur`an, diterjemahkah oleh As`ad Yasin Dkk. Dengan judul Di Bawah Naungan Al-Qur`an (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. II, h.25.








RISALAH KENABIAN

DISUSUN
GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH TAFSIR TARBAWY
DOSEN PENGAMPU : HJ.HINDUN ANISAH. M.A.



 









FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA (INISNU) BANGSRI JEPARA 2011
RISALAH KENABIAN
Oleh : Amin Mahfudh Said

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Allah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lilalami, dan sekaligus penutup para nabi, nabi terahir yang setelahnya tidak ada lagi Nabi. “Dan Sesungguhnya Telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila Telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu Rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil”.

Persoalan ini memiliki banyak latar belakang. Allah mengisahkan sebagiannya di dalam kitab ini, dan sebagiannya tidak dikisahkan. Di antara masalah yang dikisahkan ialah isyarat tentang jalan panjang, yang mengantarkan, yang jelas dan yang memiliki rambu-rambu. Juga dikisahkan apa yang ditegaskan oleh sunnah terdahulu yang berlaku dan tidak dapat diingkari; serta penjelasan tentang hakikat risalah, fungsi Rasul, dan batasan-batasannya dengan sangat jelas.

Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.Dalam ayat tersebut menyatakan bahwa Allah berkehendak dan menetapkan memilih dari jenis malaikat dan juga dari jenis manusia untuk menjadi utusan-utusan-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa risalah illahiyah kerasulan atau kenabian adalah wewenang Allah semata-mata.

BAB II
PEMBAHASAN



A. Tujuan Diutusnya Rosul


إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَإِنْ مِنْ أُمَّةٍ إِلَّا خَلَا فِيهَا نَذِيرٌ

Artinya : sungguh, kami mungutus engkau dengan membawa kebenaran (agama tauhid dan hokum-hukumnya) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.dan tidak ada satupun yumat melainkan disanatelah dating seorang pemberi peringatan.[1]

Menurut bahasa, nabi berarti orang yang memberi kabar, orang yang mengkhabarkan hal-hal ghaib, orang yang meramalkan sesuatu. Adapun yang dimaksud dalam terminologi agama ialah, Nabi adalah seorang manusia yang memperoleh wahyu dari Allah yang berisi syariat, sekalipun tidak diperintahkan untuk disampaikan kepada manusia lainnya. Jika dia mendapat perintah Allah untuk disampaikan kepada orang lain, dinamailah dia Rasul. Setiap Rasul itu Nabi, tetapi tidak setiap nabi itu Rasul.[2]

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Artinya : Dan sungguh, kami telah mengutus seorang Rosul untuk setiap umat(untuk menyerukan) “sembahlah Allah dan jauhilah Thagut”, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan.maka berjalanla kamu dibumidan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rosul-rosul).[3]


Kata (طاغوت) thaghut terambil dari kata (طغى) thagha yang pada mulanya berarti melampaui batas. Ia biasa juga dipahami dalam arti berhala-berhala, karena penyembahan berhala adalah sesuatu yang sangat buruk dan melampaui batas. Dalam arti yang lebih umum, kata tersebut mencakup segala sikap dan perbuatan yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, dan kesewenang-wenangan terhadap manusia.

Hidayah (petunjuk) yang dimaksud ayat di atas adalah hidayah khusus dalam bidang agama yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang hatinya cenderung untuk beriman dan berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Secara panjang lebar macam-macam hidayah Allah telah penulis kemukakan ketika menafsirkan surah al-fatihah. Di sana antara lain penulis kemukakan bahwa dalam bidang petunjuk keagamaan, Allah menganugerahkan dua macam hidayah. Pertama, hidayah menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Cukup banyak ayat-ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini.

Ketika berbicara tentang hidayah, secara tegas ayat di atas menyatakan bahwa Allah yang menganugerahkannya, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Redaksi yang digunakan ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada dasarnya bukan bersumber pertama kali dari Allah SWT, tetapi dari mereka sendiri. Memang ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa : “Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki”, tetapi kehendak-Nya itu terlaksana setelah yang bersangkutan sendiri sesat.“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka”. (QS. Ash-Shaf [61]: 5).[4]

Jadi misi rosul diutus adalah menyampaikan risalah dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia, sekaligus menyempurnakan ahlak manusia.


B. Misi Ajaran Seluruh Rasul


وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”.[5]

Bahasa dapat menggambarkan watak dan pandangan masyarakat pengguna bahasa itu.Ini merupakan bagian dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya bahwa Dia mengutus Rasul-Rasul dari kalangan mereka sendiri dan dengan menggunakan bahasa mereka supaya mereka dapat memahami risalah yang dibawa oleh para Rasul.

Di atas penulis jelaskan makna (إلا بلسان قومه) illa bi lisani qaumihi dengan “kecuali dengan bahasa lisan dan pikiran sehat kaumnya”. Ini, karena bahasa di samping merupakan alat komunikasi, juga sebagai cerminan dari pikiran dan pandangan pengguna bahasa itu. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Dzar, dia berkata bahwa, rasulullah saw bersabda:


لَمْ يَبْعَثِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ نَبِيًّا إِلاَّ بِلُغَةِ قَومِهِ (رواه احمد)
Tidaklah Allah azza wa jalla mengutus seorang Nabi kecuali dengan bahasa kaumnya”. (HR. Ahmad).[6]

Allah juga hendak memberikan pengertian kepada manusia ihwal hakikat ketuhanan dan kenabian. Mereka mengetahui bahwa para rasul itu manusia seperti mereka, yang dipilih Allah, dan ditentukan tugasnya. Mereka tidak mampu dan tidak pernah berusaha untuk melampaui batas-batas tugas ini. Juga supaya manusia mengetahui bahwa penangguhan suatu kejadian luar biasa merupakan rahmat bagi mereka.[7]


وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآَيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ فَإِذَا جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُونَ

Artinya : “Dan Sesungguhnya Telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila Telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu Rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil”.


BAB III
PENUTUP



Kesimpulan

Nabi adalah manusia pilihan Allah di antara sekian banyak manusia. Manusia memiliki tingkat kecerdasan, sehingga Nabi itulah yang memiliki tingkat kecerdasan yang paling tinggi. Sebagai insan pilihan Tuhan yang dapat menerima pancaran sinar wahyu, dan dengan akal Nabi yang bening sehingga mudah menangkap wahyu.

Nabi adalah penuntun umatnya dan sebagai suri tauladan. Tujuan diutusnya para Rasul yakni sebagai pembawa kabar gembira, peringatan, dan sebagai suri tauladan yang baik bagi umatnya. Wahyu yang dibawa oleh para Rasul itu secara garis besar berisi: Aqidah, Hukum-hukum, Akhlak, Ilmu Pengetahuan, Tarikh, Informasi.

Misi ajaran seluruh Rasul itu menyampaikan risalah-risalah Tuhan kepada umatnya. Allah mengutus para Rasul dengan membawa risalah sesuai dengan bahasa kaumnya. Nabi mempunyai prinsip yang sama dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Nabi adalah manusia pilihan Allah di antara sekian banyak manusia. Misi ajaran Rasul itu menyampaikan risalah-risalah Tuhan kepada umatnya. Allah mengutus para Rasul dengan membawa risalah sesuai dengan bahasa kaum-Nya.








DAFTAR PUSTAKA


Al Quran terjemah Indonesia.kudus. menara kudus . 1427 H
Dr. H. Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 11, Jakarta: Lentera hati, 2004.
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004.


[1] Al Quran terjemah Indonesia.kudus. menara kudus hlm.437. 1427 H
[2] Dr. H. Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992, hlm. 137
[3] Op,cit. hlm.271.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 11, Jakarta: Lentera hati, 2004, hlm. 129.
[5] Al Quran terjemah Indonesia.kudus. menara kudus hlm.255. 1427 H
[6] M. Quraish Shihab,vol. 7, hlm. 12.
[7] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, hlm. 139.




AYAT TENTANG AGAMA DAN HUBUNGAN ANTAR
UMAT BERAGAMA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Tafsir
Pengampu : Hj.Hindun Anisah. M.A.




 








FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA (INISNU) BANGSRI JEPARA 2011
AGAMA DAN HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Oleh ; Amin Mahfudh Said


BAB I
PENDAHULUAN


A Latar Belakang

Tidaklah mudah dalam mendevinisikan Agama, apalagi didunia ini banyak kita mendapati kenyataan bahwaAgama amat beragam, ditentukan oleh pemahaman terhadap agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di Eropa menindas para Ilmuan akibat penemuan mereka diangap bertentangan dengn kitab suci. Para Ilmuwan ahirnya menjauh dari Agama bahkan meningalkannya.

Dalam pandangan Islam , keberagamaan adalah fitrah (sesuatu yang telah melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya.[1]


فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Artinya : Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu. (QS. Al-Rum.[30]:30).

Ini berarti manusia tidak dapat melep[askan diri dari Agama . tuman menciptakan demikian , karena Agama merupakan kebutuhyan hidupnya. Memang manusia dapat menanguhkan nya sekian lama , akan tetapi pada masanya manusia akan kembali  dan membutuhkan juga kepada Agama.

BAB II
PEMBAHASAN



A. Agama


شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

Artinya :  Sesungguhnya Agama disisi Allah ialah Islam,tidaklah berselisih orang-orangf yang diberi kitab kecuali setelah m,ereka memperoleh ilmu. Karena kedengkian diantara mereka . barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.[2]

Kata Din atau Ad-din adalah kata Arab asli, bukan kata non arab yang diarabkan,dan bukan bahasa Persia seperti yang diduga selama ini. Din digunakan untuk makna: Hukum, merendah, menghamba, manaati, balasan, perhitungan, ,pahala, kepercayaan dan akidah.[3]

Demikian makna Din dalam buku-buku ahli bahasa Arab. Dan kalau kita inggin menerapkan makna –makna yang sudah ditrangkan itu terhadap kata Din yang digunakan oleh kitab suci Al Quran (yang disebut 92 kali dalam ayat-ayatnya).

Agama, religi, dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo’  tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya suatu yang mutlak diluar manusia. Selain itu, ia merupakan suatu sistema ritus   tata peribadahan manusia terhadap sesuatu yang diangap yang mutlak, juga sebagai sistema norma   tata kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia, dan alam lain sesuai dan sejalan dengan tata keimanandan tata peribadahan itu.[4]  


B. Kedudukan Islam Diantara Agama-Agama Lain Dalam Al Quran


إِنَّ الدِّينَ   ( sesungguhnya agama) yang diridloi-  عِنْدَ اللَّهِ    (disisi Allah) ialah agama -  الْإِسْلَامُ  (Islam)  yakni syariat yang dibawa olegh para Rosul dan dibina atas dasar ketauhidan.   وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ   (tidaklah berselisih orang-orang yang diberi kitab)  yakni orang-orang yahudi dan Nasranidalan Agama, sebagian mereka mengakui bahwa merekalah yang beragama tauhid,sedangkan lainya kafir. - إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ  (kecuali setelah datang kepada mereka Ilmu)  tentang ketauhidan disebabkan   بَغْيًا  (kedengkian)  dari orang-orang kafir -  بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ  (diantaa sesame mereka, barang siapa yang kafir pada ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah cepat sekalierhitungan-Nya)  maksudnya pembalasan-Nya.[5]

Kedudukan Islam dalam Al Quran diantara agama-agama lain jelas seperti yang dijelaskan ayat     إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ    bahwa hanya Islam adalah agama yang paling benar disisi Allah.


C. Interksi Umat Muslim Dengan Non Muslim

Tak ada paksaan dalam agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk agama Islam. Bahkan, dalam sebuah ayat disebutkan, “Jangan memaki sembahan orang. Karena, kalau kamu memaki sembahan mereka, maka mereka juga akan memaki sembahanmu.”

Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 :

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[6]

Yang perlu dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al Quran terhadap kata Umat, kata itu terulang 51 kali dalam Al Quran.  Menurut Ar Raghib Al Isfahani menjelaskan bahwa Umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, bvaik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.[7] 

Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al Quran sangat lentur dan mudah menyesuaikan diri tidak ada batas minimal atau maksimal untuk satu kesatuan. [8] jadi sangat mungkin umat secara umum yang berbeda Agama mampu untuk saling berinteraksi dengan baik, bekerja sama dengan baik karena itu tidak bertentangan dengan truntunan Al Quran.

Kerja sama antar umat beragama bisa jadi terbentuk karena adanya toleransi yang tinggi yang dimiliki oleh individu tersebut, kerja sama tersebut bisa terjalin dalam bidang-bidang antara lain :
1.      Ekonomi
2.      Sosial
3.      Budaya
4.      Pendidikan
5.      dll.

Dengan terjalinya kerja sama yang baik tersebut secara tidak langsung bahwa umat Islam menunjukan bahwa Agama Islam adalah Agama yang sangat toleran, yang mampu menghargai dan menghormati Agama dan pemelukya.








BAB IV
PENUTUP



Kesimpulan

Dalam pandangan Islam , keberagamaan adalah fitrah (sesuatu yang telah melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Agama, religi, dan din pada umumnya merupakan suatu sistema credo’  tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya suatu yang mutlak diluar manusia. Selain itu, ia merupakan suatu sistema ritus   tata peribadahan manusia terhadap sesuatu yang diangap yang mutlak, juga sebagai sistema norma   tata kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia, dan alam lain sesuai dan sejalan dengan tata keimanandan tata peribadahan itu.

Tak ada paksaan dalam agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk agama Islam. Bahkan, dalam sebuah ayat disebutkan, “Jangan memaki sembahan orang. Karena, kalau kamu memaki sembahan mereka, maka mereka juga akan memaki sembahanmu.”

Menurut Ar Raghib Al Isfahani menjelaskan bahwa Umat adalah kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri. Maka didalam umat tersebut pasti adanya perbedaab suku, agama, budaya dan lain sebagainya. Tetapi diharapkan setiap komponen mampun untuk bekerja sama Membangun masyaerakat, Bangsa, Negara.



DAFTAR PUSTAKA


Al Quran terjemahasn Indonesia. Kudus, menara kudus.  1427.H.
Dr. Rauf Syalabi. Distorsi sejarah dan ajaran Yesus. Jakarta, 2001. Pustaka Al-kautsar.
H. Endang Saifuddin Anshari,M.A. Wawasan Islam.Jakarta,2004.gema insani.
Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AS-Suyuti. Tafsir jalalin. Bandung.2007. Sinar baru algesindo.jilid 1. cet.5.
M. Qurqish Shihab, wawasan Al Quran. Bandung, 2003.mizan.


[1] M. Qurqish Shihab, wawasan Al Quran. Bandung, 2003.mizan. hlm.375.
[2] Al Quran terjemahasn Indonesia. Kudis, menara kudus. Hlm.52. 1427.H.
[3] Dr. Rauf Syalabi. Distorsi sejarah dan ajaran Yesus. Jakarta, 2001. Pustaka Al-kautsar. Hlm. 40-41.
[4] H. Endang Saifuddin Anshari,M.A. Wawasan Islam.Jakarta,2004.gema insani. Hlm. 30.
[5] Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AS-Suyuti. Tafsir jalalin. Bandung.2007. Sinar baru algesindo.jilid 1. cet.5. hlm.214-215.
[6] Al Quran terjemahasn Indonesia. Kudis, menara kudus. Hlm.52. 1427.H.
[7] M. Qurqish Shihab, wawasan Al Quran. Bandung, 2003.mizan. hlm.324.
[8] Ibid.




WAWASAN AL QURAN TENTANG PENDIDIKAN



Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Tafsir
Dosen Pengampu  Mata Kuliah : Hj.Hindun Anisah. M.A.


 









FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA (INISNU) BANGSRI JEPARA 2011
WAWASAN AL-QURAN TENTANG PENDIDIKAN

Oleh : Amin Mahfudh Said

BAB I
PENDAHULUAN



A. Pengantar

Pendidikan memiliki peran penting pada era sekarang ini. Karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.
Secara filosofis, pendidikan Islam pada dasarnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, sehingga dengan nilai ini bisa membantu dalam menjalani proses kehidupannya, yang sekaligus juga untuk menghasilkan, mengisi, memelihara, dan memperbaiki peradabannya. Dalam konteks ini, maka dasar pendidikan Islam berkaitan dengan kepentingan dan cita-cita kemanusiaan universal. Dalam prosesnya, pendidikan Islam merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Atas dasar itu, setiap pendidikan Islam yang sedang berlangsung untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang tentu memiliki paradigma, yaitu suatu ’cara pandang’ pendidikan Islam dalam memahami dunia’ (world view). Setiap paradigma mencerminkan ’cara pandang’ masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma pendidikan Islam sesuai dengan ’cara pandang’ masyarakat atau negara bersangkutan terhadap dunianya.
Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah kewajiban agama, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia. Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam adalah merupakan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pendidikan menjadi kewajiban individual dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal. Kerena bernilai ibadah, maka pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku, dan kepribadian para peserta didik.



















BAB II
PEMBAHASAN



A. Pendidikan Dalam Al Quran

Al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.[1]
Al-Qur’an juga telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[2]
Pada intinya pendidikan islam menitik beratkan kepada ketakwaan sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar taqwa dan hakekat serta tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka taqwa bukan saja hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi taqwa harus menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses, maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip taqwa yang berimplikasi kepada pendidikan, diantaranya. Dasar taqwa adalah Alqur’an yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus.[3] Rasulullah bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia.[4] Menurut Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah.[5]

B. Tujuan pendidikan dalam Al Quran

Pada dasarnya pendidikan dalam Al Quran menitik beratkan pada ketakwaan kepada Allah SW, seperti yang tertuang dalam surat Ali IMron (3): 102:103

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (102) وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ …. (104)


”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”[6](102)  berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah kesemuanya, dan jangan lah kamu berpecah belahserta ingatlah nikmat Allah………..(103)

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ  (berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah) maksudnya Agama-Nya.  جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا  (kesemuanya, dan janganlah kamu berpecah belah) setelah menganut Islam  وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ  (serta ingatlah nikmat Allah) yakni karunia-Nya.[7]

Dalam ayat tersebut, taqwa dipahami sebagai “yang terbaik menunaikan kewajibannya”.[8] Arti taqwa bisa berarti ”menjaga, menghindari, menjauhi”; dan ada juga yang mengartikan dengan ”takut”. Dengan mengambil pengertian ”takut”, maka taqwa berarti ”takut kepada Allah”. Karena ketakutan ini, maka ia harus mematuhi segala ”perintah Allah” dan ”menjauhi segala larangan-Nya”.

Pesan ayat yang lalu untuk bertakwa sebenar-benar takwa dan tidak mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah SWT., [9] pesan dimaksud adalah: berpegang teguhlah, yakni upaya sekuat tenaga untuk mengaitkan Dari satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakan disiplin kamu semua tanpa kecuali.

Serta dalam ketakwaan kepada Allah dilarang untuk saling berpecah belah antara umat Islam, karena umat Islam hakekatnya adalah satu. Satu dalam artian yang substansial, yaitu persaudaraan dalam iman dan ketakwaan.


                                                
C. Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[10]

Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[11]
Demikian halnya dengan pengetahuan, ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya pengetahuan itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan pengetahuan digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan didapat
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas teng lah bahwa Islam memberikan konsep pendidikan yang mencakup keseluruhan bidang kehidupan mulai dari kehidupan dunia hingga kehidupan Ahirat.Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Pemaknaan takwa jika dikaitkan dengan pendidikan, tentu memiliki makna yang cukup luas, yang terkadang cenderung dipahami dalam arti yang amat sempit. Jika menilik kata takwa dalam al-Qur’an yang menjadi studi kajian makalah ini—adalah menjadi tujuan segenep prilaku dan praktik ritual apapun. Dalam kaitan ini, mestinya takwa—dalam arti luas—juga menjadi tujuan pendidikan Islam, beralandaskan nilai moral (akhlak) yang kemudian menjadi sumber inspirasi membangun peradaban dengan tingkat profesionalisme yang tinggi.  Namun, suatu hal yang selalu menjadi masalah ialah sejauh mana konsep takwa dipahami dengan baik, dan di-konteks-kan untuk menjadi tujuan pendidikan, tanpa harus kehilangan makna dasar dari  akar kata tersebut.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.
Wallahu A’lam bisowaf

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran terjemah Indonesia . Kudus, Menara kudus,1427.H.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997.
Imam jalaludin Al-mahalli, Tafsir jalalin.Bandung. 2007. Sinar baru Algesindo.cet.5.
Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, Tt, Bogor.
Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001).




[1] Al Quran terjemah Indonesia . Kudus, Menara kudus,1427.H.
[2] Ibid.
[3] Q.S.Al-Israa/17 : 19
[4] Q.S. Al-Mulk/67 : 2
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997, hal. 172.
[6] Q.S. Ali Imron/3 :103.
[7] Imam jalaludin Al-mahalli, Tafsir jalalin.Bandung. 2007. Sinar baru Algesindo.cet.5.hlm.249.
[8] Soedewo PK, Keesaan Ilahi, Daarul Kutubil Islamiyah, tanpa tahun, Bogor, hal. 115.
[9] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, Cet.XIV 1997, hal.169.
[10] Q.S. Al Qashash..(28) : 77.
[11] Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.











0 komentar:

Posting Komentar